Dr. AGUS, S.Sos., M.Hum., CIIQA
General Manager UNESCO Global Geopark Merangin Jambi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi
Dalam sebuah tulisan terbaru yang diterbitkan di Jamberita.com berjudul "Geopark Merangin: Antara Kebanggaan Global dan Penderitaan Lokal" penulis menggambarkan status UNESCO Global Geopark sebagai tidak lebih dari lencana kehormatan yang dangkal yang memperburuk kesulitan lokal sambil mengabaikan ketidakadilan yang lebih dalam. Meskipun mengakui beberapa kekhawatiran yang valid tentang distribusi manfaat yang tidak merata dan konflik dengan industri ekstraktif, artikel tersebut terpaku pada proses administratif seperti revalidasi dan prestise simbolis, tanpa memahami peran inti geopark sebagai upaya putus asa segelintir warga Jambi untuk menjaga warisan alam Jambi yang tak tergantikan. Jauh dari menyebabkan "penderitaan lokal", Geopark Merangin Jambi UNESCO Global (MJUGGp) mewakili pengakuan internasional yang diperoleh melalui upaya konservasi bak pelanduk melawan musang—tiada henti dan hampir selalu kalah, dan ketidakhadirannya akan mengubah tantangan lingkungan yang terisolasi di wilayah-wilayah tertentu menjadi penderitaan regional yang meluas. Respon sayaini menyoroti kontribusi nyata geopark, realitas yang terabaikan dari manajemennya yang kekurangan sumber dana dan sumber daya manusia, dan konsekuensi mengerikan dari mengabaikan mandat perlindungannya.
Status UNESCO: Lebih dari Simbolisme, Pengakuan Global untuk Pelestarian yang Berkelanjutan
Penetapan Geopark Merangin sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2023 bukanlah sekadar penghargaan; itu adalah bukti atas signifikansi geologisnya yang tak tertandingi, yang menyimpan spesimen terpapar terakhir di dunia dari flora fosil Permian Awal. Fosil tanaman kuno ini, yang dilestarikan melalui proses vulkanik selama ratusan juta tahun, menawarkan wawasan berharga tentang sejarah Bumi dan keanekaragaman hayati. Kritikus seperti penulis artikel di jamberita.com mengecam status ini sebagai "pencitraan simbolis" yang memprioritaskan narasi global daripada kebutuhan lokal, tetapi ia mengabaikan bagaimana pengakuan UNESCO secara aktif mendorong pembangunan berkelanjutan—meski terlihat terseok-seok. Dampak positifnya mencakup peningkatan pariwisata, pertumbuhan ekonomi, dan inisiatif konservasi yang ditingkatkan yang secara langsung menguntungkan masyarakat Jambi.
Jauh dari dangkal, tema geopark—"Memuliakan Bumi, Mensejahterakan Masyarakat"—menekankan perangeopark sebagai benteng terakhir melawan kehancuran habitat. Di wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim, kenaikan suhu, pola curah hujan yang berubah, dan bencana ekologis seperti longsor dan banjir, kerangka geopark mempromosikan pelestarian aktif. Hutan asli di dalam geopark sangat penting untuk mencegah ancaman ini, menjaga tidak hanya fosil tetapi seluruh ekosistem yang mendukung mata pencaharian lokal. Keterlibatan UNESCO memastikan standar internasional untuk geoturisme, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat, mengubah potensi eksploitasi menjadi warisan yang dilindungi. Tanpa status ini, situs unik Jambi bisa menyerah pada industrialisasi ekstraksi yang tidak terkendali, menghapus harta karun global dan memperbesar kerentanan lingkungan--yang lebih tepat dibandrol sebagai “Penderitaan Lokal.”
Salah satu kelalaian paling mencolok dalam artikel tersebut adalah kegagalannya membahas elemen manusia di jantung operasi geopark: badan manajemen beranggotakan sembilan orang yang bertugas mengawasi wilayah luas >4.832 km2 atau 2/3 wilayah kabupaten Merangin, dan mandat konservasi yang kompleks. Individu-individu yang berdedikasi ini beroperasi di bawah kendala lapangan signifikan, ancaman deforestasi yang massif dan sistemik, termasuk anggaran terbatas dan kebutuhan untuk memperluas kemitraan dengan LSM, akademisi, dan sektor swasta. Pekerjaan kesembilan orang ini melibatkan keseimbangan antara konservasi dengan keterlibatan masyarakat, sering kali dihadapkan pada masalah tehnik, koordinasi dan perencanaan spasial yang tumpang tindih. Namun, tulisan Jamberita.com mengabaikan realitas ini, malah mengkritik "masalah institusional" yang luas tanpa mengakui upaya kesembilan orang staf untuk melibatkan desa-desa lokal dalam aksi keberlanjutan—seperti memulihkan lingkungan dan mempromosikan ekowisata.
Sembilan anggota staf ini melestarikan geodiversitas Merangin terhadap ancaman seperti pertambangan emas ilegal, ekstraksi batubara, dan ekspansi kelapa sawit, yang dicatat dengan benar oleh artikel jamberita.com tersebut, tetapi diatribusikan pada kekurangan geopark. Pada kenyataannya, manajemen geopark secara aktif melawannya dengan mempromosikan alternatif geoturisme yang memberdayakan masyarakat adat dan mengurangi ketergantungan pada industri destruktif. Mengabaikan tantangan mereka—seperti kekurangan staf, dana operasional, dan kebutuhan untuk perekrutan lebih lanjut—merusak kemajuan yang juga diklaim kurang oleh artikel tersebut. Ketekunan staf badan pengelola--yang sering tidak gajian; dalam mencontohkan bagaimana status UNESCO menyediakan platform untuk advokasi, demi menarik perhatian dan sumber daya global untuk memperkuat ketahanan lokal, luput dicermati si penulis artikel.
Mencegah Eskalasi: Dari Masalah Lokal kePenderitaan Regional tanpa Geopark
Penekanan artikel jamberita.com pada "penderitaan lokal"—mengutip manfaat pariwisata yang tidak merata, keterlibatan masyarakat yang terbatas, dan konflik dengan sektor ekstraktif—menyajikannya sebagai produk sampingan dari keberadaan geopark. Namun, perspektif ini picik; tanpa payung pelindung geopark, masalah ini akan membengkak menjadi bencana regional. Ekosistem Merangin menghadapi ancaman eksistensial dari ekspansi industri, yang bisa menghancurkan habitat, memicu bencana yang lebih sering, dan penderitaan masyarakat di seluruh Jambi. Penetapan UNESCO bertindak sebagai benteng, menegakkan kebijakan konservasi yang mengurangi risiko ini dan mempromosikan pembangunan yang adil.
Tanpa geopark dan status UNESCO-nya, kerusakan lingkungan yang mengerikan akan mendalam dan tidak dapat dipulihkan. Penggundulan hutan tanpa kendali dari perkebunan kelapa sawit dan pertambangan bisa mempercepat hilangnya hutan Jambi dengan tingkat seperti yang terlihat secara historis—Indonesia kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan primer antara 2000 dan 2012, dengan lahan gambut dan hutan hujan Jambi mengalami degradasi masif, menyebabkan penurunan tanah 2–5 cm per tahun di area yang dikeringkan dan penurunan 15% spesies hutan rawa gambut. Titik panas keanekaragaman hayati akan runtuh, menghapus lebih dari 200 spesies tanaman per hektar hutan hujan yang ditebang, mendorong ikon terancam punah seperti harimau Sumatra dan gajah menuju kepunahan melalui fragmentasi habitat dan konflik manusia-satwa liar yang intensif, di mana hewan menyerang tanaman atau menghadapi pembunuhan balasan. Konversi lahan gambut akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang katastrofik, memperburuk perubahan iklim dengan kebakaran hutan yang lebih intens yang menyumbat udara, melepaskan miliaran ton karbon, dan menyebabkan penyakit pernapasan yang meluas serta kerugian ekonomi dalam miliaran.
Pencemaran air dari limbah pertambangan dan bahan kimia perkebunan akan meracuni sungai, merusak kehidupan akuatik dan menimbulkan risiko kesehatan serius bagi masyarakat, termasuk peningkatan insiden penyakit yang dibawa air dan sumber air minum yang tercemar. Longsor dan banjir, yang sudah merajalela karena pola curah hujan yang berubah, akan melonjak dalam frekuensi dan keparahan, menelan desa-desa, menggusur ribuan orang, dan mengerosi tanah yang mendukung pertanian, menyebabkan ketidakamanan pangan dan lonjakan kemiskinan. Kelompok adat seperti Suku Anak Dalam akan menghadapi pemusnahan budaya, karena hutan mereka—vital untuk pengetahuan tradisional, makanan, dan obat-obatan—diratakan, memaksa penggusuran dan hilangnya mata pencaharian, dengan lebih dari 2.000 orang sudah terdampak oleh ekspansi serupa. Tanpa pengamanan geopark, kengerian ini tidak akan tetap terlokalisasi tetapi akan mengalir menjadi kehancuran regional, mengubah Jambi menjadi lanskap tandus yang dicacat oleh keruntuhan ekologis dan keputusasaan manusia.
Misalnya, geopark memfasilitasi inisiatif yang dipimpin masyarakat, melibatkan setidaknya empat desa per kecamatan dalam restorasi lingkungan. Pariwisata, meskipun tidak didistribusikan secara sempurna, telah menghasilkan peluang ekonomi, dengan studi menunjukkan potensi untuk kemakmuran yang lebih luas melalui praktik berkelanjutan. Mengabaikan geopark berisiko melepaskan eksploitasi tanpa kendali, mengubah ketidakadilan lokal menjadi kemiskinan yang meluas, hilangnya habitat, dan erosi budaya yang memengaruhi wilayah tetangga. "Penderitaan" yang digambarkan artikel tersebut bukan disebabkan oleh geopark tetapi oleh masalah sistemik yang sudah ada yang dicoba diatasioleh 9 orang staf Badan Pengelola-nya dengan segala keterbatasan—masalah yang akan memburuk secara regional tanpa intervensinya.
Mengalihkan Fokus: Dari Kritik Administratif ke Ketidakseimbangan Sistemik dan Imperatif Ilmiah
Daripada terpaku pada proses administratif penyusunan dossier—yang ditangani dengan teliti oleh badan manajemen geopark dalam kolaborasi dengan komunitas akademik di Universitas Jambi, yang berkontribusi melalui penelitian, promosi, dan inisiatif pendidikan seperti mendigitalkan model geopark untuk jangkauan global—penulis artikel jamberita.com seharusnya mengadopsi lensa yang lebih objektif. Ini akan mengungkap bagaimana badan manajemen beroperasi di garis depan sebagai penjaga lingkungan, secara aktif memerangi hilangnya habitat di tengah inersia birokratis yang lebih luas terhadap degradasi ekologis di Jambi. Bukti ilmiah menekankan peran geopark: habitatnya menyimpan lebih dari 4.000 spesies tanaman dan 372 spesies hewan, termasuk yang terancam punah seperti harimau Sumatra, sambil melestarikan fosil era Permian yang memberikan data kritis tentang ekosistem kuno dan pola iklim. Studi mengonfirmasi bahwa tanpa pelestarian seperti itu, kerentanan terhadap perubahan iklim—seperti curah hujan yang berubah dan banjir yang meningkat—akan meningkat, mengancam keanekaragaman hayati regional dan mata pencaharian manusia.
Daripada mengkritik proses revalidasi, mereka yang benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan Merangin seharusnya meneliti ketidakseimbangan dalam alokasi dana pembangunan regional, yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ekstraktif daripada imperatif lingkungan. Penelitian tentang kebijakan pembangunan Jambi mengungkap bahwa pendekatan "business as usual", yang menekankan pertumbuhan ekonomi tahunan 8%, menghasilkan hasil yang tidak berkelanjutan, dengan model menunjukkan risiko tinggi degradasi lingkungan, termasuk perluasan area lahan kritis dan hilangnya keanekaragaman hayati. Faktor penentu untuk pembangunan berkelanjutan, seperti anggaran kesehatan dan pendidikan, sering gagal menangani kemiskinan dan kebutuhan lingkungan secara adil karena distribusi yang tidak merata dan ketergantungan pada sektor ekstraktif, memperburuk disparitas di daerah terpencil. Transfer fiskal ekologis dan strategi non-ekstraktif, seperti ekowisata, direkomendasikan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini, mengakui habitat Merangin sebagai esensial untuk keberlanjutan jangka panjang—dibuktikan oleh perannya dalam penyerapan karbon, mitigasi bencana, dan mendukung SDGs.
Artikel jamberita.com tersebut terpaku pada elemen dangkal, seperti beban administratif revalidasi UNESCO dan narasi global yang optimis, sambil mengabaikan pencapaian nyata geopark dalam perlindungan geodiversitas dan pelestarian budaya. Kemajuan sejati memerlukan pengakuan atas upaya ini dan advokasi untuk peningkatan, seperti penambahan staf dan integrasi suara lokal yang lebih baik, daripada merusak kerangka secara keseluruhan. Dengan fokus pada simbolisme daripada substansi, kritik tersebut berisiko mengecilkan dukungan yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan dalam partisipasi dan manfaat.
Kesimpulannya, Geopark Merangin bukan sumber penderitaan lokal tetapi mercusuar harapan, mewujudkan prestise internasional sambil berfungsi sebagai garis pertahanan terakhir Jambi melawan keruntuhan lingkungan. Sembilan anggota stafnya mewujudkan ketangguhan yang diperlukan untuk menavigasi tantangan ini, dan tanpa pekerjaan mereka—didukung oleh status UNESCO—warisan unik wilayah dan masyarakatnya akan menghadapi bahaya yang jauh lebih besar. Daripada mengkritik dari jauh, pemangku kepentingan seharusnya bersatu untuk memperkuat geopark, memastikan manfaatnya mencapai setiap sudut Merangin dan lebih jauh. Hanya melalui aksi kolektif, kebanggaan global dapat diterjemahkan menjadi kemakmuran lokal yang abadi.
Add new comment