Peran Penting Restorative Justice (RJ) Di Provinsi Jambi

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Opini
IST

Oleh  : FAHMI RASID

Tim Restoratif Justice (RJ) Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi

Doktor Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)

“Filosofi Restorative Justice Dirancang Untuk Menjadi Suatu Resolusi Penyelesaian Dari Konflik Yang Sedang Terjadi Dengan Cara Memperbaiki Keadaan, Ataupun Kerugian Yang Ditimbulkan Dari Konflik Tersebut, Serta Merupakan Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Dalam Mekanisme (Tata Cara Peradilan Pidana) Fokus Pidana Diubah Menjadi Proses Dialog Dan Mediasi, Dengan Tujuan Mendorong Terpenuhinya Asas-Asas Peradilan Yang Cepat, Sederhana Dengan Keadilan Yang Seimbang,” tutur Datuk Al-Haris (Datuk Mangku Bumi Setio Alam) (Gubernur Jambi).

“Penempatan Hukum Adat Melayu Jambi Dalam Kerangka Positif Untuk Mengimplementasikan Restorative Justice Di Daerah Jambi. Sudah Selayaknya Dan Seharusnya Hukum Adat Melayu Jambi Sebagai Sebuah Karya Anak Bangsa Dapat Dipakai Dasar Formil Dalam Setiap Penanganan Perkara Pidana Karena Lebih Mencerminkan Rasa Keadilan Bagi Masyarakat, Serta Lebih Mengedepankan Pendekatan Humanis Yang Lebih Adil Harus Didorong Dan Diutamakan”. Penjelasan Ketua Umum Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi Datuk H. Hasan Basri Agus (HBA) Datuk Tumenggung Putro Joyo Diningrat.

Kedua tokoh tersebut menyampaikan Hal tersebut disampaikan Al Haris pada acara Seminar Sehari Lembaga Adat Melayu Jambi (LAM) dengan tema : Restorative Justice Dalam Hukum Adat Melayu Jambi, dalam acara seminar Restorative Justice (RJ) Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi yang berlangsung di Shang Ratu Hotel, Selasa, 22 Agustus 2023. Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana, paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum pidana di dalam masyarakat, yaitu membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal atau masyarakat yang dicitakan, mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat, dan mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh masyarakat dengan teknik perumusan norma yang negatif. Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana, dalam konteks ini alasan pemidanaan adalah pembalasan, kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan atau pembalasan yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan tertentu.

Menurut Tony F. Marshall  “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”. (Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Dari defenisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan. Sedangkan menurut kriminolog Adrianus Meliala, model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).

Sepanjang tahun 2024, Kejaksaan Agung Republik Indonesia berhasil menyelesaikan sebanyak 1.985 perkara melalui pendekatan restorative justice (keadilan restoratif). Pendekatan ini memungkinkan penyelesaian perkara pidana di luar proses peradilan formal dengan mengedepankan musyawarah dan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.  Sebagai bagian dari upaya memperluas implementasi keadilan restoratif, hingga Desember 2024, Kejaksaan telah mendirikan 4.654 Rumah Restorative Justice dan 116 Balai Rehabilitasi Adhyaksa di seluruh Indonesia .

Di Provinsi Jambi Sepanjang tahun 2024, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi berhasil menyelesaikan 27 perkara pidana melalui pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) di wilayah hukumnya. Ada banyak Jenis perkara atau kasus yang diselesaikan melibatkan tindak pidana terhadap orang dan harta benda, seperti pencurian dan penganiayaan. Wilayah hukum Penyelesaian perkara dilakukan oleh Kejaksaan Negeri di 10 kabupaten/kota serta dua Cabang Kejaksaan di Provinsi Jambi, kemudian Syarat penerapan RJ ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk penerapan keadilan restoratif antara lain : Korban memaafkan pelaku dan tidak keberatan jika perkara diselesaikan di luar pengadilan, Kerugian akibat tindak pidana tidak melebihi Rp2,5 juta, Ancaman hukuman di bawah lima tahun penjara .

Lalu untuk Perkembangan restorative justice (keadilan restoratif) Hingga Mei 2025, Kejati Jambi telah menyelesaikan tambahan 8 perkara melalui pendekatan keadilan restoratif, dari banyak kasus yang telah diselesaikan. Penerapan keadilan restoratif ini merupakan bagian dari upaya Kejaksaan untuk menyelesaikan perkara secara damai antara pelaku dan korban, dengan pendekatan yang humanis serta berorientasi pada pemulihan hubungan sosial di masyarakat.

Restoratif justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara yang berfokus pada pemulihan kerugian yang dialami oleh korban, pelaku, dan masyarakat yang terdampak. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki dampak kejahatan, bukan hanya menghukum pelaku. Pendekatan ini sering digunakan dalam kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran ringan atau menengah, di mana proses pengadilan formal dianggap tidak selalu memberikan keadilan yang adil bagi semua pihak.

Berikut adalah beberapa elemen utama dari penyelesaian perkara melalui restoratif justice:

  1. Partisipasi Aktif dari Semua Pihak: Restoratif justice mengundang korban, pelaku, dan komunitas untuk secara aktif terlibat dalam penyelesaian konflik. Proses ini memberikan kesempatan kepada korban untuk menyampaikan perasaan mereka, kepada pelaku untuk mengakui dan bertanggung jawab atas tindakan mereka, dan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam pemulihan.
  2. Pemulihan Kerugian: Tujuan utama dari proses ini adalah memulihkan kerugian yang dialami oleh korban, baik secara fisik, emosional, maupun material. Pelaku diminta untuk mengambil tanggung jawab dan sering kali harus mengganti kerugian atau memperbaiki keadaan yang disebabkan oleh tindakannya.
  3. Pengakuan dan Tanggung Jawab Pelaku: Pelaku diminta untuk mengakui kesalahan dan secara aktif berpartisipasi dalam proses penyelesaian. Ini bukan hanya tentang menghindari hukuman, tetapi juga membantu pelaku untuk memahami dampak tindakannya dan mendorong perubahan perilaku.
  4. Reintegrasi Pelaku ke Masyarakat: Dalam banyak kasus, restoratif justice juga berfokus pada membantu pelaku kembali ke masyarakat tanpa stigma berkelanjutan, dengan tujuan mencegah kejahatan berulang dan memulihkan hubungan yang rusak.
  5. Mediasi atau Dialog: Sering kali, proses penyelesaian melibatkan sesi mediasi atau dialog di mana semua pihak dapat berbicara secara terbuka. Fasilitator atau mediator yang netral biasanya terlibat untuk membantu mencapai kesepakatan yang adil bagi semua pihak.
  6. Diversi (Pengalihan): Dalam konteks hukum pidana, restoratif justice juga dapat digunakan sebagai bentuk diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara dari proses pengadilan ke proses non-penal, terutama dalam kasus anak atau pelanggaran yang tidak terlalu serius.

Restoratif justice menawarkan pendekatan yang lebih humanis dan komunal dalam menyelesaikan konflik hukum, dan telah diterapkan di berbagai negara dengan hasil yang positif, terutama dalam menurunkan angka residivisme dan meningkatkan kepuasan korban terhadap proses hukum.

Penyelesaian kasus melalui Restoratif Justice memiliki sejumlah manfaat, antara lain:

  1. Pemulihan Korban: Memprioritaskan pemulihan kerugian fisik, emosional, dan material korban.
  2. Mengurangi Beban Peradilan: Meringankan beban sistem pengadilan dengan menyelesaikan kasus di luar proses litigasi.
  3. Tanggung Jawab Pelaku: Pelaku didorong untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki kerugian.
  4. Reintegrasi Sosial: Membantu pelaku kembali ke masyarakat tanpa stigma berkepanjangan.
  5. Keadilan Komunal: Melibatkan masyarakat dalam pemulihan dan pencegahan tindak pidana berulang.

Hal merupakan hal yang positif dilakukan karena Pendekatan ini dianggap lebih humanis dan solutif dalam banyak kasus.

Dasar hukum penyelesaian kasus melalui Restoratif Justice di Indonesia antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang memperkenalkan konsep diversi.
  2. Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang memberikan wewenang kepada kejaksaan untuk menghentikan penuntutan kasus ringan.
  3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020 yang memperkuat implementasi restorative justice di pengadilan.

Disisi lain Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi  memiliki peran penting dalam penyelesaian kasus melalui Restoratif Justice, terutama di daerah yang masih kuat memegang nilai-nilai kearifan lokal. Beberapa peran tersebut meliputi :

  1. Mediator : Lembaga adat bertindak sebagai pihak penengah antara pelaku dan korban untuk mencapai kesepakatan damai.
  2. Pemelihara Kearifan Lokal: Mereka menjaga agar penyelesaian kasus sesuai dengan norma adat setempat.
  3. Restorasi Sosial: Lembaga adat membantu memulihkan hubungan sosial dalam komunitas dan memastikan reintegrasi pelaku ke masyarakat.

Tanggapan masyarakat tentang penyelesaian kasus melalui Restoratif Justice umumnya positif, terutama di daerah yang memiliki kearifan lokal kuat. Banyak yang menganggapnya sebagai solusi yang lebih adil dan manusiawi dibandingkan hukuman formal, karena memprioritaskan perdamaian dan pemulihan hubungan. Pendekatan ini juga dinilai mampu mengurangi stigma sosial terhadap pelaku, serta menghindari proses hukum yang panjang dan mahal. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa Restoratif Justice mungkin tidak cocok untuk semua jenis kasus, terutama yang melibatkan tindak pidana berat.

Sebagai informasi bahwa Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi Dibawah kepemimpinan Datuk H. Hasan Basri Agus (HBA) Datuk Tumenggung Putro Joyo Diningrat,  sudah melaksanakan PERJANJIAN KERJASAMA (PKS) Dengan Lembaga Vertikal yang ada kaitannya langsung dengan penegakan Restorative Justice Dalam Hukum Adat Melayu Jambi,  PKS tersebut dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

  1. Perjanjian Kerjasama (PKS) Antara Lembaga Adat Melayu Jambi Provinsi Jambi Dengan Kejaksaan Tinggi Jambi Tentang : Dukungan Tugas dan Fungsi Terkait Pelaksanaan Keadilan Restoratif, Nomor : 164/PKS/LAM-JBI/VI/2023, Nomor : B-02/L.5/Gs.2/06/2023. Tanggal 19 Juli 2023.
  2. Perjanjian Kerjasama (PKS) Antara Lembaga Adat Melayu Jambi Dengan Kepolisian Daerah Jambi Tentang : Penanganan dan Penyelesaian Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Nomor : 163/LAM-JBI/VII/2023, Nomor : B/2779/VII/2023. Tanggal 19 Juli 2023.     
  3. Perjanjian Kerjasama (PKS) Antara Lembaga Adat Melayu Jambi Dengan Pengadilan Tinggi Agama Jambi Tentang : Mediasi Berbasis Kearifan Lokal, Nomor : 032/LAM-JBI/III/2024, Nomor : 284/KPTA.W5-A/HM2.1.3/III/2024. Tanggal 27 Maret 2024.
  4. Perjanjian Kerjasama (PKS) Antara Badan Narkotika Nasional Provinsi Jambi dengan Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi, Tentang : Optimalisasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di Wilayah Provinsi Jambi, Nomor : PKS/30/KA/PC.01.02/2024/BNNP, dan Nomor : 16/LAM-JBI/VI/2024. Tanggal 26 Juni 2024.

Oleh karenanya, kita semua harus berbangga dan mengucapkan Syukur Alhamdulillah bahwa dengan adanya PKS (Perjanjian Kerja Sama) antara Lembaga Adat Melayu Jambi (LAM Jambi) dengan Aparat Penegak Hukum di Provinsi Jambi memiliki beberapa dimensi penting, baik secara normatif, sosial, budaya, maupun strategis. Untuk itu dapat dijabarkan makna dari PKS tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Pengakuan Formal terhadap Peran Lembaga Adat, PKS ini merupakan bentuk pengakuan resmi dari negara (melalui aparat penegak hukum) terhadap eksistensi dan otoritas kultural Lembaga Adat Melayu Jambi. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dan norma adat dianggap relevan dan penting dalam mendukung penegakan hukum dan ketertiban sosial.
  2. Sinergi antara Hukum Positif dan Hukum Adat, PKS ini menjadi sarana untuk menjembatani hukum negara (positif) dengan hukum adat Melayu, sehingga terjadi harmonisasi hukum. Hal ini penting karena dalam masyarakat Jambi, banyak persoalan sosial yang lebih mudah diselesaikan melalui pendekatan adat daripada jalur hukum formal.
  3. Penguatan Fungsi Mediasi dan Restoratif, Dengan adanya kerja sama ini, LAM Jambi dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik sosial atau kasus-kasus ringan melalui pendekatan restoratif (restorative justice). Ini mengedepankan pemulihan hubungan sosial dan keadilan yang berorientasi pada kesepakatan bersama, bukan semata-mata hukuman.
  4. Pelestarian dan Internalisasi Nilai Budaya, PKS juga memiliki makna strategis dalam melestarikan nilai-nilai budaya Melayu Jambi, seperti musyawarah, mufakat, sopan santun, dan keadilan adat. Aparat penegak hukum yang memahami dan menghargai nilai ini akan lebih efektif dalam menjalankan tugas di tengah masyarakat local.
  5. Meningkatkan Legitimasi Sosial Aparat Penegak Hukum, dengan melibatkan LAM Jambi dalam proses penegakan hukum dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat. Ketika aparat bekerja sejalan dengan norma lokal, maka intervensi mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat.
  6. Peran Strategis dalam Pencegahan Konflik, Melalui kerja sama ini, LAM Jambi bisa berperan sebagai mitra strategis dalam deteksi dini dan pencegahan konflik sosial, baik konflik antarwarga maupun antara warga dan pemerintah.
  7. Implementasi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Hukum, ini mencerminkan pembangunan hukum yang berbasis pada kearifan lokal, sesuai dengan prinsip bahwa hukum harus mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat tempat ia ditegakkan.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network

 

Baca lainnya