Kaspul Anwar Ph.D.
Tulisan ini dimuat sebagai luaran kegiatan Progam Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) Kementerian Agama Republik Indonesia 2024. Kaspul Anwar Ph.D. saat aktif sebagai dosen di Institut Agama Islam Muhammad Azim Jambi
Sebagai bangsa yang sangat majemuk, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga kerukunan sosial di tengah perbedaan cara pandang keagamaan. Di berbagai wilayah, kita sering melihat bagaimana perbedaan keyakinan atau ritual adat dapat menimbulkan ketegangan. Misalnya, terkadang penolakan terhadap ritual budaya lokal seperti sedekah laut atau festival adat terjadi karena adanya interpretasi agama tertentu yang menganggapnya tidak sesuai. Fenomena seperti penolakan pembangunan rumah ibadah atau sikap eksklusif dalam memilih pemimpin publik juga sering kita jumpai, menambah panjang daftar persoalan yang berpotensi meretakkan persatuan kita.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mencari pendekatan yang dapat merangkul perbedaan secara damai, salah satunya dengan menerapkan moderasi beragama. Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, pernah mengingatkan kita agar tidak mudah memberikan label negatif kepada orang lain hanya karena perbedaan pemahaman agama. “Jangan gampang memusyrikkan orang lain karena bisa jadi kita yang menjadi musyrik. Jangan gampang memberi label kepada orang lain, sebab label itu dapat kembali pada diri kita sendiri. Islam mengajarkan bagaimana kita menghargai perbedaan, toleran, moderat, jauh dari sikap ekstrim untuk mencapai kehidupan yang aman, damai tanpa konflik yang dapat memporak-porandakan kehidupan,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa prinsip moderasi adalah dasar yang memungkinkan kita untuk menghargai keragaman tanpa menimbulkan konflik yang merusak keharmonisan sosial.
Namun, upaya mewujudkan moderasi beragama bukanlah tugas pemerintah semata. Institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi, memiliki peran strategis dalam menumbuhkan sikap moderat di kalangan generasi muda. Kampus adalah tempat berkumpulnya mahasiswa dari berbagai latar belakang, sehingga menjadi ruang yang ideal untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, kemanusiaan, dan keadilan. Dengan menjadikan kampus sebagai role model moderasi beragama, kita dapat membantu membentuk generasi muda yang siap hidup dalam keberagaman dengan cara yang damai dan saling menghargai.
Salah satu prinsip penting dalam moderasi beragama adalah mengutamakan kemanusiaan. Kampus bisa menanamkan nilai ini dengan mengajarkan mahasiswa untuk menghargai hak dan martabat manusia tanpa memandang latar belakang agama atau budaya. Melalui kegiatan sosial yang melibatkan mahasiswa lintas agama dan budaya, kampus bisa menumbuhkan rasa saling menghormati yang berkelanjutan. Nilai kemanusiaan ini menjadi fondasi bagi kampus untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dan inklusif.
Prinsip kedua adalah kemaslahatan umum, yang mengajak mahasiswa untuk berkontribusi kepada masyarakat luas tanpa mengedepankan kepentingan golongan tertentu. Kampus dapat mengadakan program pengabdian masyarakat yang melibatkan berbagai pihak, mengajarkan bahwa hidup berdampingan dengan damai adalah bagian dari menjalankan agama. Dengan terlibat dalam kegiatan semacam ini, mahasiswa akan memahami bahwa esensi dari keberagaman adalah bekerja sama untuk kebaikan bersama.
Keadilan adalah landasan lain yang penting dalam moderasi di kampus. Kampus harus memastikan bahwa semua mahasiswa memiliki akses dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi. Keadilan ini menciptakan rasa dihargai dan diperhatikan di kalangan mahasiswa, yang sangat penting dalam membangun suasana kampus yang harmonis.
Selanjutnya, prinsip berimbang menjadi panduan penting untuk mencegah sikap ekstrem dalam beragama. Dalam menyampaikan materi pembelajaran, dosen diharapkan mampu memberikan pandangan yang objektif dan seimbang, sehingga mahasiswa bisa belajar menghargai perbedaan tanpa terjebak dalam sikap menghakimi. Peran ini semakin relevan di era digital, di mana akses informasi begitu mudah namun sering kali minim kedalaman.
Gus Ulil Absar Abdalla menyoroti pentingnya peran dosen dalam menanamkan prinsip ini, terutama di tengah fenomena banyaknya pihak yang merasa cukup memahami agama hanya karena membaca informasi terbatas. “Di era digital banyak orang yang merasa menjadi ahli agama, padahal baru membaca sedikit informasi. Meski begitu, mereka berani tampil membuat konten-konten digital yang mempengaruhi publik. Banyak masyarakat yang belum bisa memfilter informasi sehingga mudah terpengaruh,” ujar Gus Ulil.
Untuk itulah, dosen dan cendekiawan perlu hadir sebagai agen moderasi yang aktif di media sosial, berani membentuk ruang ketokohan yang seimbang dan asertif. Dengan menjadi figur yang memberikan pandangan moderat dan mendalam, para pendidik tidak hanya membantu mahasiswa menyaring informasi secara kritis tetapi juga memperkuat posisi moderasi beragama dalam menghadapi narasi-narasi ekstrem yang mudah tersebar di era digital ini.
Selain itu, prinsip komitmen kebangsaan perlu dijunjung tinggi di lingkungan kampus. Melalui program-program yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan persatuan, kampus dapat memupuk rasa cinta tanah air pada mahasiswa, sehingga mereka lebih memahami bahwa meskipun memiliki latar belakang yang berbeda, mereka tetap bagian dari bangsa yang sama. Ulama asal Kempek, Cirebon, KH. Said Aqil Siroj, tokoh yang lantang menyuarakan moderasi beragama, menekankan pentingnya keterkaitan antara agama dan nasionalisme. “Agama tanpa nasionalisme akan menjadi ekstrem. Sedangkan nasionalisme tanpa agama akan kering.” Beliau menjelaskan bahwa ekstremisme sering lahir dari pandangan agama yang sempit dan terlalu eksklusif, yang mengabaikan realitas sosial. Oleh karena itu, menggabungkan semangat beragama dengan kecintaan terhadap negara dapat mencegah munculnya pandangan ekstrem yang berpotensi merusak keharmonisan.
Prinsip toleransi juga merupakan pilar utama dalam moderasi beragama yang perlu diinternalisasi di kampus. Dengan menyediakan ruang aman bagi ekspresi keyakinan yang beragam, kampus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan. Toleransi ini menjadi sangat penting dalam membangun sikap saling menghormati di tengah perbedaan, serta memupuk sikap empati dan kebersamaan yang semakin memperkuat hubungan sosial antar mahasiswa dari latar belakang yang berbeda.
Sebagai role model moderasi, kampus juga harus menolak segala bentuk kekerasan dan selalu mengedepankan penyelesaian damai atas konflik. Setiap perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui dialog yang saling menghargai. Kampus dapat menyediakan pelatihan mediasi bagi mahasiswa untuk membekali mereka dengan keterampilan menyelesaikan perbedaan dengan cara yang damai dan konstruktif, sehingga diharapkan sikap moderat akan semakin kuat di dalam dan di luar lingkungan kampus.
Prinsip terakhir adalah penghormatan terhadap tradisi. Kampus yang mengedepankan moderasi beragama tetap menghormati tradisi dan budaya lokal tanpa menutup diri terhadap perkembangan zaman. Kegiatan budaya yang melibatkan mahasiswa dari berbagai latar belakang dapat menjadi cara yang efektif bagi mereka untuk memahami dan menghargai tradisi, mengokohkan identitas mereka, serta membangun sikap terbuka dan apresiatif terhadap kekayaan budaya yang ada.
Inklusivitas dalam Beragama
Inklusivitas dalam beragama adalah sikap yang mengajarkan umat untuk hidup berdampingan dalam keberagaman dengan saling menghormati perbedaan keyakinan. Di dalam Islam yang moderat atau dikenal sebagai Islam Wasathiyah, terdapat dua prinsip utama yang menopang sikap inklusif ini, yakni at-tawazun dan at-tasamuh. Kedua prinsip ini merupakan pilar penting dalam mengembangkan pemikiran Islam yang moderat dan inklusif, yang menghindari sikap ekstrem dan mengedepankan moderasi.
Prinsip at-tawazun mengajarkan umat Islam untuk bersikap seimbang dan proporsional dalam menyikapi berbagai perbedaan, baik dalam agama maupun dalam kehidupan sosial. At-tawazun berarti menghindari fanatisme dan sikap ekstrem dalam beragama, sehingga memungkinkan umat Islam untuk berinteraksi secara harmonis dengan umat agama lain tanpa merendahkan keyakinan mereka. Kiai Ahmad Zubaidi menekankan bahwa at-tawazun ini penting untuk menghindari ketimpangan pandangan yang dapat memicu konflik. Di lingkungan kampus, prinsip ini dapat diwujudkan dengan mendorong mahasiswa untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan dan menilai berbagai sudut pandang secara proporsional, sehingga mereka dapat menghargai orang lain tanpa merasa paling benar.
Sementara itu, prinsip at-tasamuh mencerminkan sikap toleransi dan saling menghormati antarumat beragama. At-tasamuh mengajarkan umat Islam untuk mengakui dan menghargai perbedaan keyakinan serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dalam Alquran, surat Al-Kafirun mengajarkan, “lakum diinukum wa liya diin,” yang berarti “bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Ayat ini menegaskan bahwa Islam memberikan ruang bagi perbedaan dan menolak sikap memaksakan agama kepada orang lain. Di dalam tatanan sosial, at-tasamuh berfungsi sebagai penyeimbang yang menjaga hubungan baik antarumat beragama dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat yang majemuk.
Meminjam pernyataan Prof. Muhammad Adlin Sila bahwa kampus sebagai institusi pendidikan harus menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi seluruh peserta didik tanpa memandang latar belakang agama. “Pendidikan harus menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi semua peserta didik. Jika kita tidak menciptakan suasana tersebut, maka peserta didik tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik,”.
Kampus yang inklusif adalah kampus yang memungkinkan mahasiswa dari berbagai latar belakang untuk belajar dan berkembang bersama, tanpa ada prasangka atau diskriminasi. Hal ini menciptakan iklim akademik yang kondusif di mana mahasiswa dapat saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan rasa hormat.
Namun, inklusivitas bukan berarti mencairkan keyakinan atau merelatifkan akidah. KH. Ahmad Zubaidi Ketua Dewan Dakwa MUI mengatakan Islam Wasathiyah tidak mengajak umat untuk bertukar akidah dengan penganut agama lain, tetapi mengajarkan bahwa perbedaan keyakinan tidak boleh menjadi penghalang untuk berhubungan baik. Prinsip ini adalah landasan penting yang memungkinkan umat Islam untuk tetap teguh dalam keyakinannya, sambil tetap terbuka dan ramah terhadap orang lain. Di lingkungan kampus, hal ini diterapkan dengan mendidik mahasiswa untuk menghargai prinsip agama mereka masing-masing tanpa perlu memaksakan keyakinan tersebut kepada orang lain.
Dalam konteks beragama di lingkungan sosial, prinsip inklusivitas dalam Islam juga berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di atas perbedaan teologis. Prinsip ini memperkuat pandangan bahwa agama tidak seharusnya menjadi pemicu konflik, tetapi justru menjadi jembatan untuk saling mengenal dan bekerja sama. Melalui pandangan ini, mahasiswa diajarkan untuk tidak sekadar hidup berdampingan, tetapi juga berperan aktif dalam membangun masyarakat yang harmonis. Di lingkungan akademik, hal ini bisa diterapkan dengan program-program yang mempromosikan dialog lintas agama dan kegiatan sosial yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan.
Inklusivitas dalam beragama di lingkungan kampus juga berperan sebagai upaya mencegah pola pikir mayoritarianisme agama yang menganggap bahwa pandangan kelompok mayoritas harus dominan dalam setiap keputusan sosial. Sikap ini sering kali membatasi keberagaman yang semestinya diterima dalam masyarakat yang plural. Dengan mengedepankan inklusivitas, kampus mengajarkan mahasiswa untuk menghargai hak-hak minoritas dan menolak pandangan bahwa satu agama atau kelompok harus lebih unggul dari yang lain dalam kehidupan sosial.
Inklusivitas dalam beragama mencakup penghargaan terhadap kebebasan beragama, yang mengizinkan setiap individu untuk menjalankan keyakinannya secara penuh tanpa merasa terancam. Kampus yang inklusif akan menjadi tempat di mana mahasiswa dapat berlatih untuk menjadi warga yang toleran dan berpikiran terbuka, siap untuk hidup di masyarakat yang multikultural. Lebih jauh lagi, KH. Ahmad Zubaidi mengingatkan bahwa Islam yang moderat tidak hanya membatasi dirinya pada aspek spiritual, tetapi juga menekankan pentingnya menjaga hubungan sosial antaragama dengan baik, yang berarti umat tidak perlu memisahkan diri hanya karena ada perbedaan agama.
Dengan prinsip at-tawazun dan at-tasamuh, kampus dapat mengajarkan mahasiswa untuk memandang perbedaan sebagai kekayaan dan membangun sikap terbuka dalam menjalani kehidupan bersama. Kampus yang menerapkan prinsip inklusif akan membentuk generasi yang berpikiran moderat, saling menghormati, dan mampu menjaga kerukunan di tengah perbedaan. Prinsip-prinsip ini memberikan landasan bagi mahasiswa untuk bersikap inklusif dalam interaksi sosial, sekaligus tetap teguh pada nilai-nilai agama mereka.(*)
Add new comment