Catatan Ketika Kampanye di Kampus

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Opini
IST

Oleh:

Nasuhaidi, S.Pd., S.Sos., M.Si.

Pemilihan Kepala Daerah atau lebih populer dengan sebutan akronim Pilkada, adalah pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah setempat yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih. Pilkada dilakukan dalam satu paket bersama dengan wakil kepala daerah alias berpasangan, terdiri dari pasangan gubernur-wakil gubernur untuk provinsi, bupati-wakil bupati untuk kabupaten dan wali kota-wakil wali kota untuk kota.

Pilkada Tahun 2024 merupakan gelombang Pilkada ke-5 sepanjang sejarah perhelatan pemilihan di Indonesia. Pilkada 2024 relatif berbeda dibanding pemilihan sebelumnya, dimana Pilkada 2024 betul-betul dilaksanakan serentak seluruh daerah di Indonesia, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Tercatat Pilkada Serentak tahun ini dilaksanakan di 37 Provinsi (kecuali Provinsi DIY), 415 kabupaten dan 93 kota.

Kemudian, perspektif lain yang juga menjadi pembeda dari Pilkada sebelumnya adalah soal pelaksanaan kampanye di kampus. Kampanye Pilkada 2024 diperbolehkan di perguruan tinggi asalkan tidak melanggar ketentuan sebagaimana dumuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Di ruang publik, Putusan MK ini memunculkan kontroversi, ada yang setuju kampanye di perguruan tinggi, sebaliknya ada juga yang meragukan manfaat kampanye di kampus.

Dalam konteks kepemiluan, kampanye di kampus bukanlah wacana politik yang baru. Pada Pemilu 2024 yang lalu, kontestan Pemilupun diperbolehkan melaksanakan kampanye di lembaga pendidikan, termasuk kampus dengan pengaturan yang tegas dan jelas melalui Peraturan KPU tentang Kampanye. Aturan teknis berupa Perubahan Peraturan KPU tentang Kampanye dalam proses penyelarasan dengan Putusan MK.

Idealnya, kampanye di kampus diperbolehkan sebagai sarana pendidikan politik generasi muda. Mahasiswa merupakan segmen pemilih yang sudah memenuhi syarat, telah meyandang hak elektoral. Mahasiswa merupakan generasi harapan yang produktif sehingga perlu diberi ruang untuk berpartisipasi dalam ajang pemilihan. Mereka perlu dilibatkan dalam mencari pemimpin daerah melalui Pilkada agar muncul pemimpin yang menjanjikan dan menyejahterakan. Para mahasiswa, sebagai agent of change memiliki tanggungjawab moral untuk mengetahui secara langsung akan calon pemimpin, paling tidak untuk lima tahun ke depan.

Kampanye di kampus dengan memilih metode yang tepat menjadi momentum bagi generasi penerus untuk mengkritisi, mempertajam dan sekaligus memberikan sumbangan pemikiran terkait mimpi-mimpi calon kepala daerah. Lebih penting lagi untuk encourage janji-janji calon pemimpin daerah agar lebih realistik, bukan sekadar dagelan politik.

Bagi akademisi, kehadiran pasangan calon kepala daerah (Cakada) untuk menggelar kampanye di kampus merupakan tantangan tersendiri. Kesempatan seperti ini jarang didapat oleh komunitas kampus secara kelembagaan, sementara para pakar, yang notabene menguasai persoalan daerah sesuai bidang kajiannya adanya di perguruan tinggi. Kepakaran mereka itulah yang modal sosial guna penatajaman dan pengujian gagasan para calon kepala daerah yang dikemas dalam materi kampanye, berupa visi, misi dan program kerja dengan target tertentu. Program pembangunan daerah dengan target yang akan dicapai selama kepemimpinan masing-masing paslon. Nah di sini jelas sekali bahwa terbuka ruang bagi akademisi untuk membedah, mengkritisi dan memberikan masukan penguatan materi kampanye tersebut agar  lebih rasional, efektif, dan terukur serta berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat. Kampanye di kampus juga membuka kran berjalannya kontrol sosial para akademisi terhadap penegakan etika berkompetisi dalam demokrasi.

Putusan MK Nomor 69 Tahun 2024

Secara normatif, pelaksanaan kampanye di perguruan tinggi berlandaskan pada Salinan Putusan MK Nomor 69/PUU-XXII/20024 yang memberikan kesempatan kepada pasangan calon ataupun Tim kampanye pasangan calon untuk melaksanakan kampanye di perguruan tinggi. Tentunya, dengan memilih metode kampanye yang menghormati dunia pendidikan dan relevan dengan prinsip “Kampus Merdeka” atau sebelumnya lebih dikenal dengan istilah otonomi kampus. Perguruan tinggi di sini dimaknai sebagai universitas, institut, dan sekolah tinggi, serta politeknik, termasuk akademi.

Putusan MK tersebut mengarisbawahi bahwa kampanye di perguruan tinggi (kampus) dijalankan ketika mendapat izin terlebih dahulu dari penanggungjawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu. Artinya, pasangan calon, juru kampanye atau tim kampanye datang ke kampus hanya menyiapkan materi kampanye berupa visi, misi dan jabarannya dalam bentuk program kerja. Selanjutnya, diadakan pemaparan, pembahasan dan pendalaman.

Sepanjang pemahaman penulis, atribut kampanye yang dimaksudkan dalam Putusan MK tersebut adalah dua komponen perlengkapan kampanye pemilihan yaitu alat peraga kampanye dan bahan kampanye. Pemahaman secara teknis, APK dapat dimaknai sebagai semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya dari peserta pemilihan, simbol atau tanda gambar pasangan calon, yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu. Kata kunci dari pemaknaan APK disini adalah semua atribut kampanye yang sifatnya terpasang atau terpampang. Dengan demikian, yang termasuk dalam kategori APK, meliputi baliho, bilboard, atau videotron, spanduk, dan umbul-umbul.

Selanjutnya, atribut kampanye yang juga dilarang untuk dibawa adalah bahan kampanye. Bahan Kampanye merupakan semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pilkada, simbol atau tanda gambar yang disebar untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Pasangan Calon tertentu. Kata kunci untuk kategori bahan kampanye adalah bahan yang disebar atau dibagikan. Dengan demikian, bahan kampanye tersebut dapat berbentuk: selebaran (flyer); brosur (leaflet); pamflet; poster; stiker; pakaian; penutup kepala; alat minum/makan; kalender; kartu nama; pin; dan atau alat tulis.

Dengan pertimbangan bahwa atribut kampanye di kampus hanya sebatas menyampaikan materi kampanye, bisa jadi dalam bentuk tayangan, ceramah dan diprioritaskan pola dialog, maka metode kampanyepun harus menyesuaikan. Dengan demikian dari berbagai metode kampanye, menurut hemat penulis, metode  pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan mungkin juga dalam bentuk debat publik lebih mengena. Metode-metode itu lebih memungkin untuk untuk digelar karena mengarah pada dialogis. Metode kampanye yang lain, termasuk Rapat Umum bisa saja dilaksanakan sejauh tidak ada pemasangan APK dan penyebaran bahan kampanye di seputaran kampus.

Beberapa Catatan

Tidak bisa dipungkiri sebagaimana disebutkan di awal bahwa Putusan MK yang memperbolehkan kampanye dilaksanakan di kampus diproyeksi akan rawan politisasi. Banyak pihak yang mengkhawatirkan, kampanye di kampus akan membuka peluang terjadinya politik praktis petinggi kampus. Di tengarai, output kampanye di kampus lebih banyak mengarah pada mudarat  ketimbang manfaatnya. Apalagi demokrasi negara kita sedang dalam normal-normal saja alias “darurat demokrasi”. Sehingga wajar-wajar saja hadir pemikiran, pendapat dan argumen publik yang beragam dan berbeda. Dalam konteks Demokrasi Pancasila, perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan dan bisa menjadi pengingat bagi pihak yang terkait untuk bekerja dan berkinerja lebih baik dalam mengelola Pilkada.

Untuk itu, dalam menyiasati agar tidak terjadinya hal yang diproyeksikan negatif, dianggap merusak nilai dan mengangkangi demokrasi dan demi tegaknya otonomi kampus, penulis memberi beberapa catatan ketika kampus dijadikan area kampanye pasangan calon kepala daerah Pilkada 2024, sebagai berikut: pertama, netralitas kampus. Kampus hendaknya bertindak secara adil dan berimbang. Perguruan tinggi harus mampu memberikan kesempatan dan pemberlakuan yang sama diantara pasangan calon yang ada, baik kontestan provinsi maupun kabupaten dan kota. Durasi dan termasuk pelayanan kampuspun dengan standar yang tidak boleh berdeda diantara para Cakada. Demikian juga hendaknya, fasilitas yang disediakan, antara lain gedung serba guna, halaman, lapangan, dan atau tempat lainnya pun ber-asaskan keadilan. Pendek kata, pihak perguruan tinggi welcome dengan semua paslon yang ingin memanfaatkan kesempatan berkampanye di kampus.

Kedua, kampus sebagai inisiator. Proses kampanye di kampus tetap dalam kendali penanggungjawab perguruan tinggi itu sendiri, dalam hal ini adalah rektor.  Kampanye terlaksana di kampus sebaiknya atas undangan rektor, bukan semata keinginan kontestan pemilihan. Dan, yang tidak kalah penting, dalam undangan kampanye dari perguruan tinggi disebutkan dengan tegas bahwa aktivitas kampanye diperbolehkan tetapi dengan catatan tanpa membawa atribut kampanye, baik APK maupun bahan kampanye.  Sifatnya bedah materi kampanye yang sudah diformat dalam visi, misi dan program.

Ketiga, tidak mengganggu aktivitas belajar. Jadwal atau agenda pelaksanaan kampanye diatur dengan menghormati roster perkuliahan. Dalam hal dilaksanakan pada hari perkuliahan, pilihan waktunya mempertimbangkan jam perkuliahan. Pertemuan mungkin digelar pada sore atau malam hari. Agaknya yang lebih memungkinkan adalah kesempatanlibur Sabtu dan Minggu. Hari-hari itu  yang lebih nyaman karena gedung dan ruang yang digunakan tidak akan beririsan dengan kegiatan perkualiahan atau aktivitas akademis lainnya.

Keempat, koordinasi dengan penyelenggara. Penting bagi kampus untuk terlebih dahulu menjajaki kolaborasi dengan penyelenggara pemilihan, baik KPU maupun Bawaslu Daerah. KPU sebagai pelaksana teknis pemilihan menyiapkan rambu-rambu dan aturan kampanye harus satu nafas pihak kampus dalam memahami dan mamaknai aturan menyangkut kampanye pemilihan di kampus. Demikian juga dengan pihak Bawaslu. Dengan keterbatasan personil pengawas, pihak kampus dianggap perlu  berkolaborasi dengan pihak Bawaslu dalam hal pengawasan partisipatif. Para dosen, mahasiswa dan tenaga adminstrasi kampus mesti dilibatkan dalam pengawasan kampanya di kampus sebagai wujud partisipasi dalam pemilihan. Pada prinsipnya, pengawasan Pilkada dilaksanakan oleh semua warga negara di daerahnya masing-masing sehingga dapat menjadikan pengawasan lebih maksimal. Namun demikian, pelaporan atas temuan pelanggaran pemilihan tetap mengerucut pada satu lembaga berwenang, yakni Bawaslu, semua pelaporan pelanggaran disampaikan pada pihak pengawas pemilihan.

Penulis adalah dosen politik pada Fakultas Hukum, Universitas Jambi.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network