Jejak Kelam Pencuri di Balik Bayang Senja

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Kriminal
IST

Senja di Desa Sungai Ulak, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin, mulai meredup saat sebuah warung sederhana yang biasanya ramai dengan canda tawa para pengunjung mulai lengang. Di depan warung, sebuah sepeda motor terparkir rapi, tak ada yang menduga bahwa motor ini akan menjadi pemicu dari serangkaian peristiwa yang mengguncang daerah tersebut.

AR, yang akrab dipanggil Diles, berjalan tenang. Kakinya melangkah pasti, meski jantungnya berdegup kencang. Hari itu, 17 September 2024, adalah hari yang ia rencanakan dengan matang. Sudah lama ia mempelajari situasi di warung itu, menunggu momen yang tepat untuk melakukan aksinya. Di balik jaket hitamnya, tersembunyi sepucuk senjata api rakitan—sebuah senjata yang ia harap cukup untuk menakut-nakuti siapa pun yang mencoba menghalangi jalannya.

Ketika Diles mencapai motor yang menjadi targetnya, ia tak menyangka bahwa setiap gerak-geriknya terekam jelas oleh kamera CCTV. Ia menoleh sebentar ke arah pemilik warung yang tak sadar bahwa motornya akan segera hilang. Dengan gerakan cepat, Diles menarik motor itu ke belakang. Namun, pemilik warung sadar akan aksinya, dan dalam sekejap terjadi adu dorong. Diles mengeluarkan senjatanya dan menodongkan ke arah korban.

“Jangan bergerak! Atau aku tembak!” teriak Diles dengan nada ancaman.

Korban gemetar, dan dalam sekejap, Diles berhasil melarikan motor tersebut. Motor itu melaju kencang di bawah langit yang perlahan berubah gelap. Namun, takdir telah berputar. Diles tak tahu bahwa aksinya itu akan menjadi akhir dari pelariannya yang panjang.

Bayangan di Tengah Pelarian

Malam itu di Desa Kampung Baru, Tabir, suasana hening. Rumah-rumah warga sudah tertutup rapat, sementara suara jangkrik dan angin malam menambah keheningan. Di salah satu rumah yang tampak usang namun kokoh, AR alias Diles bersembunyi. Ia tahu, setelah aksinya yang terekam CCTV dan viral di media sosial, polisi pasti sedang mencarinya. Namun, Diles bukanlah seorang pencuri biasa. Ia adalah residivis, orang yang sudah terbiasa hidup dalam bayang-bayang pelarian.

Di rumah itu, ia tidak sendirian. P, pria berusia 44 tahun yang dianggapnya sebagai mentor, ada di sana bersamanya. P adalah orang yang telah mengajarkan Diles cara bertahan hidup di dunia yang keras ini—dunia di mana mereka harus mencuri untuk hidup. Namun, malam itu, ada rasa cemas yang tak biasa. Mereka tahu, waktu mereka semakin sempit.

“Kita harus keluar dari sini secepatnya,” gumam P dengan nada serius.

Diles hanya mengangguk. Matanya terus mengawasi pintu depan. Setiap suara langkah, setiap angin yang berdesir membuatnya tegang. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara keras pintu yang dipecahkan menghentikan semua rencana mereka. Tim opsnal dari Polres Merangin dan Polres Bungo telah mengepung rumah itu.

“Jangan bergerak! Angkat tangan kalian!” teriak seorang polisi yang memimpin penggerebekan.

Dalam hitungan detik, Diles dan P dikepung. Diles mencoba melawan, tangannya meraba senjata api rakitan yang terselip di balik jaketnya, namun polisi bergerak lebih cepat. Dalam sekejap, Diles dan P sudah tersungkur di lantai, tangan mereka diborgol. Di wajah mereka, terlihat jelas keterkejutan. Pelarian mereka, yang mereka anggap sempurna, berakhir dengan cara yang paling tidak mereka duga.

Masa Lalu yang Membayangi

Di balik jeruji besi, Diles menatap kosong ke arah langit-langit sel penjara. Ingatan tentang masa kecilnya di desa kecil di Bungo muncul di benaknya. Diles tidak tumbuh di keluarga yang hangat. Ibunya meninggal saat ia masih kecil, dan ayahnya adalah seorang pemabuk yang sering melakukan kekerasan. Kehidupan Diles dipenuhi oleh kemiskinan, kekerasan, dan ketidakpedulian.

Di usia 15 tahun, Diles sudah mengenal dunia kriminal. Ia pertama kali mencuri di pasar, mencopet dompet seorang ibu yang sedang berbelanja. Rasanya seperti kemenangan. Sejak saat itu, ia mulai mencuri motor, menodong orang di jalanan, hingga akhirnya terjerat dalam jaringan kejahatan yang lebih besar. Bersama P, mereka menjadi pencuri ulung yang sulit ditangkap.

Namun, di balik semua itu, ada perasaan hampa yang selalu menghantui Diles. Ia tahu, meskipun berhasil melarikan diri dari polisi berulang kali, suatu saat karma akan menghampirinya. Dan kini, saat ia duduk di dalam sel yang dingin, karma itu telah datang.

Harga yang Harus Dibayar

Di meja interogasi, Diles menunduk. Di hadapannya, polisi membeberkan semua bukti—rekaman CCTV, kesaksian warga, hingga senjata api rakitan yang ditemukan di rumah P. Tak ada lagi jalan keluar bagi Diles.

“Ini senjata yang kau gunakan saat pencurian di warung itu, kan?” tanya Kapolres Merangin AKBP Ruri Roberto dengan nada tegas.

Diles hanya bisa mengangguk. Semua rencana pelariannya hancur. Ia sadar, apa pun yang ia lakukan sekarang tidak akan mengubah nasibnya. Dia dan P telah dijerat Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan. Hukuman penjara yang panjang menantinya.

Namun, Diles tidak sendirian dalam kejahatan ini. Polisi juga mengejar M, anak P yang turut terlibat dalam jaringan mereka. M, yang saat ini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), diyakini sebagai orang yang menerima uang hasil penjualan motor curian.

“Berapa banyak yang kau dapat dari penjualan motor itu?” tanya penyidik lagi.

“Rp 1.150.000,” jawab Diles pelan. Jumlah yang kecil untuk harga kebebasannya yang hilang selamanya.

Di luar ruang interogasi, suasana penjara Merangin terasa mencekam. Diles tahu, ini adalah akhir dari pelariannya yang panjang. Ia pernah mengira bahwa hidupnya sebagai pencuri akan memberinya kebebasan. Tapi kini, di hadapannya hanya ada tembok penjara dan bayang-bayang masa lalu yang tak akan pernah hilang.

Dalam hati kecilnya, Diles berharap, andai saja ia bisa memilih jalan yang berbeda. Namun, seperti pepatah lama, setiap tindakan memiliki konsekuensinya. Dan bagi Diles, harga dari kejahatannya adalah kehilangan kebebasan yang tak ternilai harganya.

Di balik jeruji, Diles hanya bisa menunggu hari-hari yang panjang dan sepi, sementara dunia di luar terus berputar tanpa peduli pada mereka yang terperangkap di dalamnya.

"Karma tak pernah salah alamat," pikir Diles dalam sunyi. Dalam hatinya, ia tahu bahwa setiap aksi kejahatan pasti akan menemui jalannya kembali, meski dalam bentuk yang berbeda. Pelarian panjang yang ia lakukan tak lagi berarti, dan semua hasil curian itu tak mampu membayar kebebasan yang kini hilang darinya.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network

 

Terkait

Baca lainnya

Posting pada: WIB
ada 0 komentar
Posting pada: WIB
ada 0 komentar