IM duduk di sudut kamarnya yang remang, menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Di balik pintu, dunia luar tak lagi bersahabat. Dunia itu penuh dengan tatapan curiga, bisik-bisik yang menyakitkan, dan ejekan yang seolah menusuk hati. Namun, yang paling menyakitkan adalah pengkhianatan yang datang dari orang yang paling ia percayai.
Beberapa bulan lalu, kehidupan IM seperti sebuah dongeng yang penuh dengan kebahagiaan. Di usianya yang 27 tahun, ia jatuh cinta pada SH, pria berusia 35 tahun yang memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Mereka bertemu di dunia maya—tempat di mana segala sesuatunya tampak indah, setidaknya di permukaan. Hubungan mereka tumbuh dengan cepat, seperti bunga yang bermekaran di musim semi. SH adalah segala sesuatu yang IM harapkan dalam sosok seorang pria: perhatian, penuh pengertian, dan tampak tulus.
Namun, seiring waktu, cinta yang manis itu mulai terasa pahit. SH, dengan caranya yang halus, mulai meminta IM untuk membagikan lebih dari sekadar kata-kata manis. Dia memohon, merayu, dan akhirnya mendesak IM untuk mengirimkan foto-foto pribadinya—gambar yang bersifat sangat pribadi dan seharusnya hanya menjadi milik mereka berdua. IM, yang buta oleh cintanya, menyerah pada permintaan itu. Ia percaya, atau setidaknya ingin percaya, bahwa hubungan mereka didasarkan pada cinta sejati.
Namun, cinta itu palsu. Seperti kaca tipis yang retak, hubungan mereka mulai hancur perlahan. Ketika IM menyadari bahwa sesuatu telah berubah, ia mencoba mengakhirinya. Tapi SH tidak terima. Dalam hatinya yang gelap, dendam mulai berakar, dan ia merencanakan balas dendam dengan cara yang paling kejam.
Pada 21 Agustus 2024, kehidupan IM terhempas ke jurang yang paling dalam. Di layar ponselnya, terpampang gambar-gambar dirinya—gambar yang seharusnya hanya dilihat oleh SH—disertai dengan kata-kata yang menghina dan menjijikkan. Akun Facebook dengan nama @Supri Hatin menjadi alat bagi SH untuk menghancurkan hidup IM, dengan cara yang tak termaafkan.
IM merasakan dunianya runtuh. Malu, marah, dan ketakutan menghantamnya tanpa ampun. Setiap orang yang dikenalnya seakan berubah menjadi musuh. Namun, di tengah kepanikan itu, ada satu hal yang masih tersisa: keinginan untuk melawan. Dengan keberanian yang tersisa, IM melangkah ke Polres Sarolangun dan melaporkan perbuatan SH.
Malam itu, di ruang interogasi yang dingin, SH duduk dengan kepala tertunduk. Kapolres Sarolangun, AKBP Budi Prasetya, berdiri dengan tenang di hadapannya, mengumumkan penangkapan ini kepada media. Barang bukti berupa ponsel Samsung yang rusak, sebuah sim card Telkomsel, dan akun Facebook dengan nama palsu telah diamankan.
Hukuman menanti SH, di bawah jeratan Pasal 45 Jo Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2024. Ancaman penjara hingga 6 tahun dan denda hingga satu miliar rupiah tak akan mampu menghapus luka yang ia torehkan di hati IM, tapi setidaknya, keadilan akan ditegakkan.
"Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukan, mendistribusikan, atau mentransmisikan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan, akan menghadapi konsekuensi hukum yang berat," kata Kapolres, tegas.
IM berdiri di depan rumahnya malam itu, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Air matanya mengalir, namun ia tidak lagi merasa lemah. Di balik kepedihan, ada kekuatan yang tumbuh. Ia telah melangkah menuju keadilan, dan meskipun jalan di depan masih panjang, ia tahu bahwa ini adalah awal dari penyembuhan.
Seiring waktu, jejak dendam SH akan memudar, dan IM akan menemukan kembali kedamaian yang sempat direnggut darinya. Namun, kenangan akan pengkhianatan itu akan selalu ada, seperti bayangan yang mengikuti di setiap langkahnya. Namun, di balik bayangan itu, IM tahu bahwa ia lebih kuat dari sebelumnya.(*)
Add new comment