Perseteruan kecil di kebun kelapa sawit Mestong, Muaro Jambi, berakhir tragis saat seorang pria nekat membacok rekannya sendiri. Ketegangan antara dua sahabat lama berubah menjadi tragedi berdarah, meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan komunitas setempat.
Pagi itu, di bawah terik matahari yang menyengat, dua pria yang dulu akrab sebagai rekan kerja melangkah ke dalam kebun kelapa sawit di Desa Tanjung Pauh, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi. Seperti biasa, mereka siap memanen buah sawit, hasil yang akan menghidupi keluarga masing-masing. Namun, siapa yang menyangka bahwa hari itu, persahabatan yang selama ini terjalin erat akan hancur berkeping-keping dalam hitungan detik, meninggalkan darah dan air mata yang membekas di tanah kebun.
MS, seorang buruh berusia 45 tahun yang dikenal sebagai pekerja keras, tidak pernah menduga bahwa hari itu akan menjadi hari paling kelam dalam hidupnya. Ia hanya ingin menyelesaikan tugasnya, mengumpulkan buah sawit yang sudah matang dan siap dijual. Namun, di sudut kebun yang sama, AR, rekannya yang juga seorang buruh, menyimpan rasa kecewa dan marah yang semakin hari semakin menggunung. AR merasa bahwa MS telah melangkahi batas, mencoba mengambil alih area panen yang selama ini dianggapnya sebagai haknya.
Ketegangan antara mereka kian memuncak. Kata-kata yang seharusnya bisa menjadi jembatan pengertian justru berubah menjadi bara yang membakar. Amarah AR meledak, tak bisa lagi ia tahan. Dengan parang panjang yang biasa ia gunakan untuk bekerja, AR menghampiri MS. Hati yang sudah tertutup oleh dendam tidak lagi mengenal rasa kasih. Tanpa peringatan, AR mengayunkan parangnya, membelah udara dengan amarah yang tak tertahankan.
Satu kali, dua kali, tiga kali—parang itu menebas tubuh MS. Bacokan pertama mengenai lehernya, merambat dari rahang kanan hingga leher sebelah kiri. Darah pun segera mengalir, mewarnai kebun kelapa sawit yang semula tenang. MS berteriak, namun suaranya tenggelam di tengah rasa sakit yang luar biasa. Lengan kanannya juga menjadi sasaran amarah AR, meninggalkan luka yang menganga.
Korban tak lagi mampu berdiri. Tubuhnya ambruk ke tanah, sementara darah terus mengalir tanpa henti. Dalam kondisi yang semakin kritis, MS dibawa ke Puskesmas Tempino, tempat di mana hidupnya menggantung di ujung harapan. Para tenaga medis segera memberikan pertolongan, namun luka-luka yang dideritanya begitu parah, menuntut upaya maksimal untuk menyelamatkan nyawanya.
Sementara itu, AR, yang tadinya hanya ingin melarikan diri dari amarah yang telah ia lepaskan, kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit. Polisi dari Unit Reskrim Polsek Mestong segera bergerak setelah mendapat laporan dari warga. Pelarian AR tidak berlangsung lama. Ia ditangkap tanpa perlawanan saat mencoba meninggalkan desa, mencoba menghindari konsekuensi dari tindakannya. Namun, hukum tak akan membiarkan pelaku kekerasan lolos begitu saja.
Kapolsek Mestong, AKP R Deddy Wardana Gaos, dengan suara tegas menjelaskan, "Perseteruan yang berujung penganiayaan ini dipicu oleh persoalan rebutan memanen buah sawit antara pelaku dan korban." Dalam keterangannya, Kapolsek mengungkapkan betapa naasnya nasib MS yang harus mengalami luka-luka begitu parah hanya karena masalah sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
Di Desa Tanjung Pauh, kebun kelapa sawit itu kini menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi yang tak akan terlupakan. Tanah yang biasanya subur oleh hasil panen, kini tercoreng oleh noda darah. Warga desa hanya bisa menghela napas panjang, meratapi nasib dua pria yang dulu adalah teman, kini terpisah oleh jurang yang dalam—satu di ruang perawatan, yang lain di balik jeruji besi.
Kasus ini menyisakan banyak pertanyaan. Mengapa masalah kecil seperti ini bisa berubah menjadi tragedi besar? Mengapa amarah lebih mudah diucapkan daripada pengertian? Komunitas di Mestong dan sekitarnya tak hanya meratapi nasib MS, tetapi juga merenungkan betapa rapuhnya tali persahabatan jika tidak dijaga dengan hati-hati.
AR kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Ia dijerat dengan Pasal 351 ayat 2 KUHP, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Tapi, hukuman yang menanti AR takkan pernah bisa mengembalikan masa lalu. Luka yang tercipta di tubuh MS mungkin bisa sembuh, tetapi luka di hati dan jiwa takkan mudah hilang.
Kebun sawit yang biasanya menjadi tempat mencari nafkah, kini menjadi tempat yang menyimpan kenangan pahit. Warga berharap tragedi ini menjadi yang terakhir, pelajaran berharga bagi siapa saja bahwa konflik, sekecil apa pun, harus diselesaikan dengan kepala dingin dan hati yang terbuka. Sebab, ketika amarah mengambil alih, hanya kehancuran yang menanti.(*)
Add new comment