Debit air Sungai Batanghari, yang selama ini menjadi denyut nadi kehidupan, terus menyusut hingga mencapai titik kritis. Laporan terbaru dari kawasan Ancol mencatat bahwa debit air hanya tersisa 7,99 meter, jauh di bawah level normal yang seharusnya berada di atas 9 meter. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm yang menggetarkan setiap jiwa yang bergantung pada aliran sungai ini.
Syahrudin, penjaga pintu air Ancol, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Air sudah jauh di bawah ambang normal. Ini lebih dari sekadar angka. Kemarau panjang ini memukul keras kehidupan masyarakat kita,” ucapnya, suaranya serak, seolah menahan getir. Matahari yang terik dan tanah yang retak seakan menjadi saksi bisu dari derita yang perlahan menghimpit kota ini.
Dampaknya begitu nyata. Di sepanjang sungai, kapal-kapal tongkang yang biasanya sibuk mengangkut barang kini terjebak di tengah sungai yang dangkal. Tumpukan pasir, yang biasanya tersembunyi di dasar, kini muncul ke permukaan, menghalangi jalan mereka. “Sudah tiga bulan tongkang-tongkang ini tak bisa bergerak. Perekonomian lumpuh, semua terhenti,” lanjut Syahrudin, matanya menatap kosong ke arah sungai yang semakin surut.
Namun, horor ini tak berhenti di sektor ekonomi. Warga Jambi kini berhadapan dengan ancaman krisis air bersih yang semakin mencekam. Sumur-sumur mulai mengering, dan truk-truk tangki air menjadi pemandangan yang semakin sering terlihat di jalanan. Air, yang dulu berlimpah, kini menjadi barang langka yang diperebutkan.
“Kami bahkan tidak punya cukup air untuk kebutuhan sehari-hari. Anak-anak terpaksa mandi dengan air seadanya. Ini mimpi buruk yang nyata,” keluh seorang ibu dengan wajah penuh kecemasan.
Syahrudin tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. "Kemarau ini seperti tak ada akhirnya. Hujan yang diharapkan tak kunjung datang. Jika terus begini, Jambi akan tenggelam dalam krisis yang lebih dalam dari sekadar kekeringan," ucapnya, suaranya bergetar menahan keputusasaan.
Bayangan krisis air yang lebih besar menghantui setiap sudut kota. Jambi, yang selama ini bertahan dengan keteguhan warganya, kini dihadapkan pada ujian yang mungkin tak mampu ditanggung. Dengan sungai yang semakin mengering, harapan akan datangnya hujan menjadi satu-satunya doa yang terucap dari bibir setiap warga.
Namun, apakah itu cukup? Ketika kemarau terus menggempur tanpa ampun, Jambi mungkin segera menghadapi krisis air bersih yang tak terhindarkan, mengancam kelangsungan hidup jutaan orang.(*)
Add new comment