Kisah Heroik H. Bakri Gelar Depati Simpan Negeri: Pejuang Tangguh dari Alam Kerinci yang Gugur Melawan Penjajah Belanda

Oleh: jambi1
Pada : WIB
Rubrik
Daerah
IST

H. Bakri Gelar Depati Simpan Negeri, pejuang tangguh dari Alam Kerinci, gugur dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda. Sebagai pemangku adat dan Kepala Distrik Kerinci, ia berani melawan ketidakadilan hingga akhir hayatnya.


Dalam senyap pagi di sebuah dusun kecil di Sungai Penuh, hiduplah seorang pemimpin yang tak gentar oleh apapun, H. Bakri Gelar Depati Simpan Negeri. Ia bukan sekadar pemangku adat, tetapi seorang pejuang yang teguh memegang prinsip, yang mencintai tanah kelahirannya lebih dari apapun. Lahir pada tahun 1830 di Dusun Baru, Sungai Penuh, ia telah merasakan tekanan kolonial sejak usia muda. Namun, di balik kesederhanaannya, tersimpan keberanian yang luar biasa, keberanian yang akhirnya membuatnya gugur dengan senyum di bibirnya.

Tahun 1903, Belanda berhasil menundukkan Alam Kerinci setelah pertempuran panjang dan penuh darah. Namun, perlawanan rakyat Kerinci tak berhenti di situ. Para depati, ulama, dan hulubalang bersatu untuk melawan penjajah, dipimpin oleh tokoh-tokoh berani seperti Depati Parbo dan H. Ismail. Di tengah mereka, berdiri H. Bakri, pemimpin yang disegani di wilayah Mendapo V Dusun, yang dikenal dengan gelar Depati Simpan Negeri.

H. Bakri bukanlah orang yang mencari ketenaran atau pujian. Ia adalah seorang pemimpin yang hidup untuk rakyatnya. Sebagai Kepala Distrik Kerinci yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda, H. Bakri sebenarnya bisa saja menikmati kedudukan dan fasilitas yang diberikan penjajah. Namun, ia memilih jalan lain. Ia memilih untuk berdiri bersama rakyat, menentang penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Pada tahun 1915, perlawanan H. Bakri mencapai puncaknya. Ketika Belanda memberlakukan pajak yang berat dan memaksa rakyat bekerja rodi, H. Bakri tidak bisa tinggal diam. Sebagai pemimpin, ia merasa bertanggung jawab untuk melindungi rakyatnya dari kesewenang-wenangan. Dengan tekad bulat, ia memutuskan untuk menghadapi Kontelir Belanda yang bernama Gurkom, yang berkantor di Sungai Penuh.

Pagi itu, H. Bakri mempersiapkan dirinya dengan tenang. Ia mengenakan pakaian putih bersih, dengan sorban melilit di kepalanya. Setelah melakukan shalat sunat dan berdoa, ia mengambil senapan laras panjangnya, yang telah diisi peluru. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari itu mungkin akan menjadi pertempuran terakhirnya. Namun, ia tidak gentar. Baginya, kematian dalam membela rakyat adalah kehormatan tertinggi.

Dengan langkah mantap, H. Bakri berjalan menuju kantor Kontelir. Ketika ia tiba, suasana masih sepi, hanya ada Gurkom di dalam. Pertemuan itu segera berubah menjadi pertengkaran sengit. Gurkom yang arogan menolak tuntutan H. Bakri yang meminta peninjauan kembali atas pajak yang memberatkan rakyat. Kata-kata kasar meluncur dari mulut Kontelir, menghina H. Bakri dan rakyatnya.

Pada saat itu, darah H. Bakri mendidih. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat senapan laras panjangnya dan menembak tepat ke arah dada Gurkom. Kontelir Belanda itu terjungkal ke belakang, tewas seketika dengan peluru bersarang di dadanya. H. Bakri, dengan tenang, meninggalkan kantor tersebut, menyadari bahwa hidupnya kini menjadi buruan.

H. Bakri Gelar Depati Simpan Negeri

Tak lama kemudian, serdadu Belanda yang panik segera mengetahui identitas pelaku dan memulai pengejaran. H. Bakri tidak lari, tidak juga bersembunyi. Ia tahu, waktunya sudah tiba. Dengan tenang, ia berjalan ke sebuah pelak, sebuah tanah munggok di tengah sawah. Di tempat itu, ia menunaikan shalat terakhirnya.

Dari kejauhan, serdadu Belanda melihat sosok H. Bakri yang sedang bersujud. Mereka segera melepaskan tembakan bertubi-tubi ke arahnya. Namun, entah karena ketenangan H. Bakri atau keajaiban, tidak satu pun peluru mengenai tubuhnya. Warga sekitar yang menyaksikan dari kejauhan berteriak, meminta H. Bakri untuk menghindar, namun ia hanya mengibaskan sorbannya sebagai tanda agar mereka menjauh. Ia tidak ingin ada korban lain.

Saat melanjutkan shalatnya, sebuah peluru akhirnya menembus kakinya, diikuti oleh peluru kedua yang bersarang di dadanya. Di detik-detik terakhir hidupnya, H. Bakri tersenyum. Dengan penuh ketenangan, ia mengucapkan kalimat tauhid, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Ia gugur sebagai syuhada, membela tanah air dan rakyat yang dicintainya.

Kisah kematian H. Bakri tidak hanya menjadi cerita heroik, tetapi juga menjadi pemicu perlawanan yang lebih besar terhadap Belanda di Kerinci. Insiden penembakan Kontelir Gurkom oleh H. Bakri memicu kemarahan Belanda, tetapi juga membangkitkan semangat juang rakyat Kerinci yang selama ini tertindas.

Hingga hari ini, nama H. Bakri Gelar Depati Simpan Negeri mungkin tidak seterkenal Depati Parbo atau pahlawan lainnya dari Kerinci, tetapi keberaniannya, keteguhannya, dan pengorbanannya menjadikannya pahlawan sejati di hati rakyat. Ia adalah contoh nyata dari seorang pemimpin yang tidak hanya memerintah, tetapi juga berjuang dan mengorbankan segalanya untuk rakyatnya.

Dengan kematiannya, H. Bakri meninggalkan warisan yang abadi—warisan keberanian, cinta tanah air, dan pengorbanan. Sejarah mungkin tidak banyak mencatat namanya, tetapi di hati rakyat Kerinci, ia akan selalu dikenang sebagai pemimpin yang gugur dengan tersenyum di tengah hujan peluru penjajah. Dan dalam senyap pagi di Sungai Penuh, kisahnya terus diceritakan, menginspirasi generasi berikutnya untuk selalu berjuang demi keadilan dan kemerdekaan.(*)

Sumber : http://istoria.unbari.ac.id/index.php/OJSISTORIA/article/view/55/41

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network