MUARO JAMBI – Suara mesin menderu di pagi buta. Di atas perahu-perahu modifikasi yang tampak seperti monster tambang mini, beberapa pria menyelam bergantian ke dasar sungai. Tapi ini bukan pertambangan emas, bukan pula penyelamatan artefak oleh arkeolog. Ini adalah perampokan sejarah yang telanjang, terjadi setiap hari, di sungai terbesar di Jambi: Batanghari.
Benda-benda purbakala—fragmen patung, keramik Dinasti Ming, manik-manik Hindu-Buddha, bahkan perunggu dari era Sriwijaya—diambil dari perut Sungai Batanghari dan dijual di pasar gelap, dengan harga yang tidak sepadan dengan nilai peradaban yang hilang.
“Mereka menyelam seperti orang menggali makam nenek moyangnya, lalu menjual tulangnya,” ujar Wahyudi, aktivis muda Kumpeh, dengan suara getir. “Kami tidak sedang bicara tentang ekonomi. Ini soal identitas bangsa. Ini penjarahan budaya.”
Wahyudi bukan sendiri. Pemuda Kumpeh sudah lama geram. Mereka menyebut praktik ini sebagai "penambangan liar berkedok pelestarian sejarah". Faktanya, tidak ada pengawasan, tidak ada izin, dan tidak ada perlindungan hukum yang dijalankan di lokasi kejadian.
Ironisnya, semua terjadi hanya beberapa kilometer dari kompleks Candi Muaro Jambi, situs peradaban kuno terbesar di Asia Tenggara, yang seharusnya menjadi kawasan suci arkeologi.
Bukan hanya masa lalu yang digerogoti. Sungai Batanghari juga makin keropos secara fisik. Bantaran sungai terkikis. Aliran berubah. Bahkan fondasi jembatan utama penghubung Jambi dan Tanjab Timur mulai melemah.
“Kami sudah temukan retakan kecil di sisi bawah jembatan. Itu bukan karena usia, tapi karena gerusan air yang berubah arusnya akibat aktivitas penyedotan dasar sungai,” ungkap salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Kalau jembatan itu roboh, tidak hanya infrastruktur yang hancur, tapi juga akan menelan nyawa. Dan itu tak bisa diganti dengan uang atau sekadar permintaan maaf.
Para pelaku sering berdalih mereka sedang mencari “harta karun sejarah”. Tapi hukum berkata lain. UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dengan tegas menyebut bahwa setiap aktivitas pengambilan benda purbakala tanpa izin resmi adalah kejahatan pidana.
“Jika benda tersebut dikategorikan sebagai benda cagar budaya, maka pelaku bisa dipidana hingga 10 tahun dan denda Rp 1 miliar,” jelas salah satu akademisi hukum budaya dari Universitas Jambi.
Namun hingga kini, belum pernah ada satu pun pelaku di Kumpeh yang ditangkap. Tak ada operasi, tak ada penyitaan, tak ada penindakan.
Pemuda Kumpeh kini menuntut tindakan konkret. Mereka mendesak:
- Kapolres Muaro Jambi segera membentuk tim investigasi.
- Danramil Kumpeh ikut mengamankan lokasi.
- Balai Pelestarian Cagar Budaya dan DLH turun ke lapangan.
“Kalau negara tak bertindak, maka pemuda akan berdiri sendiri. Sungai ini bukan warisan, tapi saksi hidup. Dan ia sedang disakiti,” pungkas Wahyudi.
Sungai Batanghari bukan hanya arus air, ia adalah arus sejarah. Ia membawa cerita leluhur, bukan hanya lumpur dan batu. Tapi hari ini, cerita itu mulai hilang, dijual dengan murah, dan dibiarkan oleh hukum yang tumpul. Jangan tunggu tinggal puing untuk bertindak. Karena saat sejarah dijarah, kita semua kehilangan pijakan sebagai bangsa. (M. Arif Safwan)
Add new comment