MERANGIN – Malam belum sepenuhnya larut, namun cahaya lampu panggung MTQ ke-42 Desa Muara Panco menerangi hati ratusan warga yang berkumpul di halaman lapangan desa. Suara merdu lantunan ayat suci mengalun syahdu, menyapu keheningan malam dengan keteduhan yang menyentuh jiwa.
Di tengah suasana pasca Lebaran yang masih hangat, Sabtu malam (6/4/2025) menjadi malam yang istimewa bagi warga Muara Panco Barat dan Muaro Panco Timur, dua desa yang dulunya satu. Meski telah dimekarkan secara administratif, namun tidak bagi batin dan budaya: MTQ tetap digelar bersama, di satu tempat, di bawah satu langit, dan dalam semangat yang sama.
Bupati Merangin HM Syukur, yang hadir langsung membuka ajang tersebut, menyebut MTQ bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah napas spiritual masyarakat, sebuah pelita yang menerangi jalan hidup di tengah zaman yang penuh tantangan moral.
"MTQ bukan hanya lomba. Ia adalah panggilan iman, wahana mencintai dan memuliakan Al-Qur’an," ucapnya dengan nada tenang, penuh makna.
Di atas panggung, para qori dan qoriah muda bersiap-siap. Mata mereka berbinar, tak hanya karena lampu sorot, tetapi juga oleh cahaya keyakinan. Anak-anak kecil duduk bersila di tikar yang digelar para panitia. Kaum ibu menyiapkan hidangan sederhana. Kaum ayah mendengarkan dengan khidmat. MTQ malam itu bukan sekadar acara, tapi suasana — dan suasana itulah yang menyatukan.
Di balik acara yang terlihat megah, ada gotong royong warga yang berlangsung berhari-hari. Ada ibu-ibu yang memasak untuk panitia, ada pemuda desa yang mengatur sound system, ada anak-anak yang menghias panggung dengan ayat-ayat kaligrafi. Semua bergerak, semua terlibat, semua merasa memiliki.
"Kami tetap satu. Walau nama desa sudah beda, tapi Muara Panco itu rumah kami semua," ujar Pak Rano, salah seorang tokoh adat yang sudah puluhan tahun menyaksikan MTQ tumbuh di tanah kelahirannya.
Bupati HM Syukur juga mengingatkan, nilai-nilai Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupkan — dalam perilaku, dalam kepemimpinan, dalam cara masyarakat saling memuliakan sesama.
"Mari kita jadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bukan hanya selama MTQ berlangsung, tapi dalam setiap napas kehidupan sehari-hari," pesannya.
Malam itu, Muara Panco tidak hanya menjadi tuan rumah MTQ, tapi juga tuan rumah bagi sebuah pengingat kolektif bahwa iman, seni, dan kebersamaan adalah pilar yang tak boleh rapuh.
MTQ ke-42 bukan hanya ajang mencari suara terindah, tapi ajang memelihara cahaya, agar tetap menyala — dari lisan para penghafal Al-Qur’an, dari semangat para orang tua, dari harapan anak-anak yang melihat bahwa agama dan budaya bisa berpadu tanpa harus dibenturkan.
Dan ketika suara qori terakhir mengalun malam itu, langit Muara Panco seperti mengamini: bahwa cahaya Al-Qur’an telah, dan akan terus, menyinari hati masyarakatnya.
MTQ boleh berakhir. Tapi cinta pada Al-Qur’an tak akan pernah selesai.(*)
Add new comment