Di pedalaman Desa Simpang Limbur, Kabupaten Merangin, sekelompok guru perempuan berjalan meniti seutas tali besi. Aksi mereka ini bukan sebagai bagian dari atraksi sirkus. Tapi, itu memang jalur satu-satunya untuk bisa sampai ke sekolah tempat mereka mengajar.
Jembatan gantung yang mestinya menopang langkah mereka telah rusak parah. Badan kayunya copot. Papan-papan lantai hilang satu per satu. Tak ada pegangan, tak ada jaminan keselamatan. Yang tersisa hanyalah tali jembatan yang menggantung di udara. Menantang maut. Di bawahnya, sungai mengalir deras, dalam, dan keruh. Sedikit terpeleset, tubuh bisa jatuh dan hilang.
Dalam sebuah video berdurasi kurang dari satu menit yang diunggah oleh akun TikTok @rinidiansukma, Minggu (11/5/2025), terekam jelas detik-detik para guru berjalan sangat pelan dan hati-hati di atas tali itu. Pakaian mereka sederhana. Wajah-wajah mereka tenang, meski langkah mereka gemetar. Dalam keheningan pagi hutan, hanya keberanian dan komitmen yang menyertai.
“Ibu yang jalan kaki aku yang gemeteran,” tulis seorang warganet.
“Kalau aku, nyerah. Takut ketinggian. Tapi luar biasa perjuangan gurunya,” komentar lainnya.
Lihat video lengkapnya di sini :
Perlu dicatat, hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi mengenai waktu pasti pengambilan video itu. Namun yang pasti, video itu telah viral dan menjadi sorotan luas sejak diunggah pada Minggu, 11 Mei 2025. Relevansinya tetap utuh. Potret jembatan rusak, ketiadaan akses darurat, dan risiko keselamatan para guru adalah kenyataan yang masih terjadi hingga kini di banyak wilayah pedalaman Merangin.
“Kapanpun video ini diambil, satu hal yang tidak bisa dibantah: infrastruktur pendidikan kita darurat. Jangan tunggu jatuh korban baru kita bereaksi,” tulis, Andika salah satu netizen.
Menurut warga, jembatan itu adalah akses utama dari pemukiman ke sekolah. Meski sudah rusak dan dikabarkan sedang dalam perbaikan, hingga kini tidak ada jalur alternatif yang tersedia. Akibatnya, para guru—sebagian besar perempuan—tetap harus menempuh jalur ekstrem itu setiap hari kerja, demi memastikan anak-anak desa tetap mendapatkan pendidikan.
Tak ada pengawalan. Tak ada perahu darurat. Tak ada jembatan darurat dari kayu atau tali tambahan. Semuanya dibiarkan begitu saja. Dan negara, hingga saat ini, masih absen secara nyata.
Fenomena ini pun menjadi titik api kesadaran publik. Banyak pihak mulai melayangkan kritik dan desakan moral kepada Pemerintah Kabupaten Merangin, khususnya kepada Bupati M. Syukur, yang baru saja dilantik sebagai kepala daerah.
“Pak Bupati, ini soal wibawa pemerintah dan rasa hormat kepada guru. Apakah kita akan membiarkan guru kita terus berjudi dengan maut?” tulis seorang warga Merangin di Facebook, dengan menyertakan potongan video viral tersebut.
Perjuangan para guru Simpang Limbur menggambarkan ironisme tajam. Di saat negara bicara kurikulum baru dan digitalisasi pendidikan, masih ada guru yang harus meniti tali tua di atas jurang untuk sekadar sampai ke ruang kelas.
Tak ada kamera dari kementerian. Tak ada pejabat yang menunggu di ujung jembatan. Hanya anak-anak yang menanti dengan buku-buku mereka.
Video itu telah mengguncang. Tapi jangan sampai hanya jadi konsumsi simpati. Karena simpati tidak membangun jembatan. Keputusan pemerintahlah yang bisa. Dan kini, harapan itu bersandar pada pundak Bupati Merangin, M. Syukur.
Akankah ia menunggu laporan resmi terlebih dahulu, atau memilih turun langsung.(*)
Add new comment