Jambi – Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2024 membuka borok pengelolaan retribusi persampahan di Kota Jambi.
Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI, Pemkot Jambi kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 1,9 miliar dalam retribusi sampah rumah tangga sepanjang tahun 2023.
Penyebabnya? Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jambi dan Perumda Tirta Mayang terlambat menerapkan tarif baru, meskipun aturan tersebut sudah berlaku sejak 2020!
Apakah ini murni kelalaian administratif atau ada permainan di balik lambatnya penerapan tarif ini?
Berdasarkan hasil audit BPK RI tahun 2024 atas laporan keuangan Pemkot Jambi 2023, ditemukan bahwa tarif retribusi persampahan/kebersihan yang diberlakukan masih menggunakan tarif lama sebesar Rp 3.000/bulan. Padahal, tarif baru sebesar Rp 5.000/bulan sudah ditetapkan dalam Perda Nomor 6 Tahun 2020. Namun, Pemkot Jambi masih memakai tarif lama hingga akhir 2023.
Akibatnya, pemungutan retribusi hanya mencapai Rp 2,86 miliar, padahal jika tarif baru diterapkan sejak 2020, seharusnya Pemkot bisa mengumpulkan Rp 4,78 miliar. Pemkot Jambi kehilangan Rp 1,9 miliar dalam setahun akibat ketidaksesuaian tarif ini!
BPK RI menemukan bahwa DLH Kota Jambi baru menyadari adanya perubahan tarif di akhir 2023, padahal aturan sudah berlaku sejak 2020!
DLH kemudian menyurati Perumda Tirta Mayang pada 8 November 2023 agar menyesuaikan tarif retribusi sesuai Perda 2020.
Namun, hingga akhir pemeriksaan BPK, tarif baru belum juga diterapkan! Alasan yang digunakan: Perjanjian kerja sama DLH dan Perumda Tirta Mayang masih menggunakan aturan lama dari tahun 2017. Perumda Tirta Mayang berdalih bahwa tarif baru hanya bisa diberlakukan setelah ada perjanjian kerja sama yang diperbarui.
Dalam temuan auditnya, BPK RI menegaskan bahwa Kepala DLH Kota Jambi lalai dalam mengawasi pemungutan retribusi yang seharusnya sesuai aturan. Berdasarkan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, kepala dinas selaku Pengguna Anggaran (PA) wajib mengawasi seluruh pelaksanaan anggaran di instansi yang dipimpinnya. Namun, dalam kasus ini, pengawasan dari DLH tidak berjalan dengan baik.
BPK RI juga menyoroti peran Bendahara Penerimaan DLH, yang seharusnya memastikan bahwa pendapatan daerah yang diterima sesuai aturan yang berlaku.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jambi, Ardi, mengklarifikasi temuan BPK RI itu. Ardi membantah ada kelalaian dalam pengelolaan retribusi sampah.
Ia beralasan pada saat pandemi COVID-19, Wali Kota Jambi menginstruksikan agar pungutan retribusi dikurangi atau bahkan tidak dilakukan untuk meringankan beban masyarakat.
Namun, benarkah alasan ini bisa diterima?
"BPK RI sudah dapat menerima alasan ini,"klaimnya.
Ardi, menyebutkan tak dipungutnya retribusi sampah sesuai tarif baru karena dampak pandemi. Pada saat COVID-19, Wali Kota Jambi memerintahkan agar pungutan retribusi tidak dilakukan secara ketat agar tidak membebani masyarakat. Namun, mengapa tidak ada dokumentasi resmi yang menunjukkan keputusan tersebut.
Kenapa baru setelah BPK RI mengungkap kebocoran ini di 2024, DLH baru melakukan perbaikan?
"Atas temuan BPK RI di 2024, maka kita sudah langsung memperbaiki. Kita sudah memperbarui kerja sama dengan PDAM, sudah menggunakan tarif Rp 5.000. Tidak ada kelalaian," klaim Ardi.
Meski Kepala DLH menyebut bahwa BPK RI tidak mempermasalahkan hal ini. Tapi dalam laporan audit BPK RI yang dipublikasikan awal 2024, BPK dengan jelas menyatakan bahwa kepala DLH lalai dalam mengawasi pemungutan retribusi.
BPK RI menyebutkan Kepala DLH seharusnya memastikan tarif retribusi sampah sudah sesuai Perda Nomor 6 Tahun 2020, tetapi hal ini tidak dilakukan hingga 2023. BPK juga menyoroti lemahnya pengawasan dari bendahara penerimaan DLH dan tidak adanya inisiatif memperbarui perjanjian kerja sama dengan Perumda Tirta Mayang.
Jika benar COVID-19 dijadikan alasan, mengapa dalam laporan audit BPK tidak disebutkan bahwa kebijakan tersebut memang merupakan instruksi resmi dari Pemkot Jambi?
Faktanya, BPK RI menilai bahwa tidak adanya pemungutan tarif baru lebih disebabkan oleh kelalaian administrasi dan kurangnya pengawasan dari DLH Kota Jambi.
BPK RI harus melakukan audit lanjutan untuk memastikan tidak ada pihak yang diuntungkan dari potensi kebocoran Rp 1,9 miliar ini.(*)
Add new comment