JAKARTA – Munculnya varian baru COVID-19 yang dikenal dengan nama NB.1.8.1 atau ‘Nimbus’ telah memicu perhatian dunia kesehatan global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut varian ini sebagai salah satu penyebab peningkatan kasus di sejumlah negara seperti China, Singapura, dan Hong Kong.
Varian Nimbus dikabarkan memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dibandingkan pendahulunya. Meski belum terbukti menyebabkan keparahan lebih besar, gejala khas dari varian ini mulai banyak dilaporkan—terutama pada bagian tenggorokan.
Menurut Dr. Naveed Asif, dokter umum dari The London General Practice, salah satu gejala paling mencolok dari varian ini adalah nyeri tenggorokan akut, yang ia ibaratkan seperti terkena pecahan kaca. Rasa sakit yang tajam muncul saat menelan dan sering kali terpusat di bagian belakang tenggorokan.
Gejala klinis lainnya yang banyak ditemukan antara lain:
- Kemerahan di bagian belakang mulut
- Pembengkakan kelenjar leher
- Demam
- Batuk baru yang persisten
- Kehilangan atau perubahan indra penciuman dan perasa
- Sesak napas
- Mual dan kelelahan hebat
Ahli epidemiologi terkemuka asal Tiongkok, Dr. Zhong Nanshan, juga menyebutkan bahwa banyak pasien pasca-infeksi mengalami keluhan tenggorokan yang sangat nyeri, bahkan menyulitkan untuk berbicara atau makan.
Beberapa warga Tiongkok melaporkan pengalamannya secara daring melalui media sosial Weibo, menyebut sakit tenggorokan seperti “dipotong pisau cukur”, disertai pembengkakan dan kelelahan ekstrem. Kondisi ini menyebabkan sejumlah pekerja harus absen beberapa hari karena tidak mampu berbicara atau beraktivitas normal.
Varian Nimbus kini telah menyebar ke lebih dari 22 negara, termasuk India, Thailand, dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat seperti California, Ohio, dan Hawaii. Di AS, penyebaran varian ini mengalami lonjakan tajam dari 2% menjadi 19% dari total kasus hanya dalam dua bulan terakhir.
Meski varian ini menunjukkan tren transmisi yang signifikan, WHO menegaskan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan varian Nimbus lebih mematikan dibandingkan varian sebelumnya. Namun, sifat penularannya yang cepat menuntut tingkat kewaspadaan tinggi, terutama di negara-negara dengan tingkat mobilitas dan kerentanan lansia yang tinggi.(*)
Add new comment