Jambi – Temuan BPK RI tahun 2024 kembali mengguncang tata kelola aset perumahan di Kota Jambi. Berdasarkan audit BPK RI, diketahui dari 70 perumahan yang telah menyerahkan aset Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) kepada Pemkot Jambi, sebanyak 34 perumahan belum memenuhi alokasi minimal 35% dari luas lahan yang dikuasai sebagaimana diatur dalam Peraturan Wali Kota Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Menurut perhitungan, kekurangan luas minimal yang belum terpenuhi mencapai 21.942,19 m². Perhitungan ini didasarkan pada selisih antara alokasi minimal (35% dari luas lahan sesuai rencana tapak) dan luas sertifikat aset PSU yang telah diserahkan. Di samping itu, terdapat masalah serius lain terkait penyediaan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Hasil pengujian atas perumahan yang belum menyediakan sarana TPU menunjukkan terdapat 18 pengembang perumahan yang, berdasarkan rencana tapak tahun 2023, belum menyediakan lahan TPU maupun membayar kompensasi.
Potensi kompensasi penyediaan lahan TPU dari 18 perumahan ini mencapai Rp1.293.801.120,00. Data tersebut dihitung dengan mengalikan tarif NJOP dan persentase 2% dari nilai serta luas lahan sesuai rencana tapak tiap perumahan.
Lebih lanjut, penilaian DPRKP menyatakan bahwa pencatatan perumahan seharusnya didasarkan pada rencana tapak yang telah disahkan sejak tahun 2011 hingga 2023. Namun, permasalahan muncul karena 15 perumahan tidak menyajikan informasi luas tanah yang akurat di rencana tapak, sehingga perhitungan alokasi minimal PSU menjadi tidak optimal.
Ketua DPD REI Jambi, Abror Lubis, mengakui bahwa pengelolaan perumahan di era sebelum 2016 memang kacau dan amburadul. Namun, sejak tahun 2016, aturan telah diperketat oleh Wali Kota Jambi, di mana setiap developer wajib menyediakan minimal 35% lahan untuk fasilitas umum seperti jalan, taman bermain, dan tempat ibadah, serta harus menyerahkan kepemilikan fasilitas umum itu langsung ke Pemkot.
Selain itu, kewajiban developer juga mencakup penyediaan tanah kuburan (TPU) dengan besaran setoran sebesar 2% dari nilai dan luas lahan perumahan sebagai kompensasi.
“Developer wajib menyetor 2% dari nilai dan luas lahan perumahan ke kas daerah untuk TPU. Jadi, wewenang TPU bukan lagi pada developer, karena kami sudah bayar,” jelas Abror Lubis.
Meski begitu, di lapangan masih banyak warga mengeluhkan ketidakjelasan tentang keberadaan TPU.
“Saat membeli rumah, tidak ada informasi jelas tentang penyetoran biaya untuk TPU. Sekarang, ketika ada yang meninggal, warga jadi bingung mencari tempat pemakaman,” ujar salah satu warga yang tergabung dalam komunitas perumahan.
Temuan BPK RI dan analisis data ini membuka pertanyaan besar mengapa 34 perumahan dari 70 yang menyerahkan PSU belum memenuhi alokasi minimal 35%? Apakah pengembang sengaja mengurangi fasilitas umum demi keuntungan, sehingga aset PSU tidak pernah disediakan dengan layak?
Mengapa dari 457 perumahan yang terdaftar di DPRKP, sebanyak 387 perumahan belum menyerahkan PSU ke Pemkot Jambi? Bagaimana pemerintah menindaklanjuti potensi kompensasi sebesar Rp1,29 miliar untuk TPU agar dana tersebut tidak hilang begitu saja?
Pemerintah Kota Jambi kini dituntut untuk segera melakukan audit menyeluruh dan tindakan tegas terhadap pengembang yang tidak memenuhi kewajibannya. Pemkot harus memperbaharui inventarisasi aset, memastikan perumahan yang belum menyerahkan PSU dan TPU diberikan sanksi sesuai ketentuan, serta melakukan pembaruan data yang akurat di KIB A.
"Kita harus pastikan bahwa setiap perumahan menyediakan fasilitas umum sesuai aturan, dan dana kompensasi untuk TPU digunakan dengan transparan untuk kepentingan rakyat. Ini adalah hak warga yang harus dipenuhi," tegas seorang pejabat masyarakat yang menuntut kejelasan.(*)
Add new comment