“Di tangan pemimpin yang bijak, minyak bukan sekadar komoditas, melainkan jembatan menuju kesejahteraan rakyat.”
Oleh Dr. FAHMI RASID
DOSEN UM. JAMBI
DITENGAH GELIAT PEMBANGUNAN dan perubahan zaman, langkah berani lahir dari tanah Batang Hari, Jambi. Pemerintah Kabupaten Batanghari baru-baru ini mengusulkan 9.885 titik sumur minyak rakyat untuk dilegalkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Angka ini bukan sekadar deretan data teknis, tetapi simbol dari asa dan perjuangan masyarakat yang selama ini hidup di antara celah hukum, menggantungkan harapan pada sumber daya alam yang mengalir dari bumi tempat mereka berpijak.
Langkah legalisasi tersebut menjadi tonggak penting dalam perjalanan panjang tata kelola energi nasional yang lebih adil dan inklusif. Pejabat Sekretaris Daerah Kabupaten Batanghari, Mula Panggabean Rambe, menegaskan bahwa pendataan dilakukan secara menyeluruh, melibatkan masyarakat hingga tingkat desa, dengan titik koordinat yang telah diverifikasi. Pemerintah daerah kini menunggu proses validasi dari Kementerian ESDM, dengan harapan besar bahwa seluruh titik itu bisa segera diakui secara sah. Di balik proses administrasi yang rumit itu, tersimpan cita-cita sederhana: agar rakyat kecil yang selama ini bekerja keras di lapangan mendapat perlindungan hukum, akses pembinaan, dan bagian yang adil dari hasil bumi mereka sendiri.
Ketika 9.885 titik sumur minyak itu disahkan, maka akan lahir babak baru dalam perekonomian Batanghari. Legalisasi ini bukan hanya menertibkan aktivitas pertambangan rakyat, tetapi juga menghidupkan kembali sendi-sendi ekonomi daerah yang selama ini berputar secara informal. Para penambang kecil akan keluar dari bayang-bayang ketidakpastian hukum dan mendapatkan kesempatan bekerja dengan aman, produktif, dan berdaya saing. Hasil minyak yang selama ini mungkin mengalir melalui jalur tak resmi dapat menjadi bagian dari arus ekonomi legal yang memberi kontribusi langsung bagi pendapatan daerah.
Lebih jauh lagi, legalisasi sumur minyak rakyat akan membuka peluang baru bagi pembentukan koperasi, BUMD, atau UMKM energi lokal. Dengan legalitas, akses permodalan dari lembaga keuangan menjadi mungkin. Pemerintah daerah dapat merancang sistem pengelolaan yang berpihak pada masyarakat, bukan hanya mengatur siapa yang berproduksi, tetapi memastikan siapa yang menikmati hasilnya. Inilah wujud dari ekonomi energi yang berkeadilan, di mana rakyat bukan sekadar penonton, melainkan pelaku utama dalam rantai produksi energi nasional.
Dalam konteks yang lebih luas, langkah Batang Hari tidak berdiri sendiri. Ia merupakan gema dari arah kebijakan energi Provinsi Jambi di bawah kepemimpinan Gubernur Dr. H. Al Haris, S.Sos., M.H. Gubernur Al Haris baru saja terpilih sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030. Terpilihnya beliau merupakan bentuk pengakuan nasional terhadap peran aktif Jambi dalam memperjuangkan kedaulatan energi daerah. Dalam berbagai kesempatan, Al Haris menegaskan bahwa sumber daya alam harus menjadi energi bagi kemakmuran rakyat, bukan sekadar angka produksi dalam laporan pusat.
Sebagai Ketua ADPMET, Al Haris mendorong kolaborasi strategis antar daerah penghasil migas agar tidak lagi menjadi penonton di rumah sendiri. Melalui Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025, pemerintah membuka ruang bagi pengelolaan migas rakyat berbasis komunitas, baik melalui koperasi, BUMD, maupun kemitraan masyarakat dengan badan usaha resmi. Di sinilah Jambi, khususnya Batanghari, menjadi contoh nyata. Dengan potensi besar dan langkah konkret yang sudah dimulai, daerah ini dapat menjadi model nasional pengelolaan energi rakyat yang tertib, produktif, dan berkeadilan sosial.
Bayangkan sebuah desa di Batang Hari yang dahulu hanya bergantung pada kebun dan ladang. Kini, setelah sumur-sumur minyaknya dilegalkan, masyarakat bisa bekerja secara sah, bergabung dalam koperasi energi, dan menikmati hasil dari tanah yang mereka rawat selama puluhan tahun. Jalan-jalan desa yang dulu berlubang kini diperbaiki dari dana bagi hasil. Anak-anak bisa sekolah lebih tinggi, para pemuda tidak lagi harus merantau, dan usaha kecil di sekitar lokasi tambang ikut bergairah karena adanya perputaran ekonomi baru.
Energi yang keluar dari bumi Batanghari tidak lagi sekadar bahan bakar industri, melainkan menjadi bahan bakar kehidupan. Inilah esensi dari kedaulatan energi rakyat: sumber daya dikelola dengan akal sehat, hati yang jernih, dan keberpihakan pada manusia di sekitarnya.
Namun, jalan menuju cita-cita itu tentu tidak mudah. Ribuan sumur rakyat yang tersebar di berbagai titik harus diverifikasi dengan cermat. Pemerintah daerah dan pusat perlu memastikan bahwa setiap kegiatan produksi memenuhi standar keselamatan, tidak merusak lingkungan, dan memberi manfaat sosial-ekonomi yang seimbang. Pengawasan, pembinaan, dan transparansi tata kelola menjadi kunci agar legalisasi tidak berubah menjadi euforia sesaat, tetapi menjadi pondasi keberlanjutan.
Di sisi lain, partisipasi masyarakat harus menjadi roh dari kebijakan ini. Tanpa keterlibatan rakyat, legalisasi hanya akan menjadi formalisasi di atas kertas. Tapi dengan keterlibatan aktif, rakyat akan menjadi penjaga sekaligus penerima manfaat dari kebijakan yang mereka perjuangkan. Di sinilah pentingnya peran koperasi dan BUMD, bukan hanya sebagai entitas bisnis, tetapi juga wadah pembelajaran ekonomi bagi warga.
Langkah Batanghari juga sejalan dengan agenda besar nasional: membangun kemandirian energi berbasis komunitas. Selama ini, sebagian besar sumber daya alam Indonesia dieksploitasi oleh korporasi besar, sementara masyarakat di sekitarnya hidup dalam keterbatasan. Paradigma itu kini perlahan bergeser. Batanghari memberi pesan tegas bahwa pengelolaan sumber daya bisa dilakukan dengan adil, asalkan regulasi berpihak dan kepemimpinan berani mengambil risiko.
Indonesia sejatinya negeri yang kaya raya. Dari minyak bumi dan gas di Jambi, batubara di Kalimantan, nikel di Sulawesi, emas di Papua, hingga sawit di Sumatera semua adalah karunia yang tak ternilai. Tetapi karunia itu baru bermakna jika mampu menyejahterakan rakyat. Itulah sebabnya langkah legalisasi di Batanghari tidak boleh dilihat sebagai agenda lokal semata, melainkan bagian dari perjuangan nasional menuju kedaulatan ekonomi yang sesungguhnya.
Kini, harapan itu tumbuh. Dengan dukungan penuh dari Gubernur Al Haris dan komitmen pemerintah pusat, Jambi berpeluang besar menjadi laboratorium kebijakan energi rakyat Indonesia. Jika dikelola dengan tata kelola yang baik, maka Batang Hari akan menorehkan sejarah: dari kabupaten penghasil minyak tradisional menjadi pelopor energi rakyat yang mandiri dan berkelanjutan.
Ketika minyak mengalir dari sumur-sumur rakyat Batanghari, biarlah itu tidak sekadar menjadi komoditas yang dijual, tetapi menjadi simbol kemandirian. Biarlah setiap tetes minyak itu mengandung makna bahwa energi bukan hanya urusan industri, melainkan urusan kemanusiaan. Ia adalah hak hidup rakyat, sumber kehidupan, dan fondasi masa depan yang lebih adil.
Karena pada akhirnya, sumber daya yang sejati bukanlah minyak, gas, atau mineral, melainkan rakyat itu sendiri. Dan ketika rakyat diberi ruang untuk berdaulat atas energinya, maka Indonesia tidak hanya menjadi negara kaya sumber daya, tetapi juga bangsa yang berdaulat atas kesejahteraannya.
Inilah makna terdalam dari langkah Batang Hari: bahwa legalitas energi rakyat adalah langkah menuju kedaulatan ekonomi Indonesia.
Add new comment