JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara diam-diam tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam program bantuan kuota internet gratis yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak pandemi Covid-19.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu membenarkan bahwa pengusutan program kuota internet merupakan bagian dari penyelidikan terstruktur terkait proyek digitalisasi pendidikan nasional.
“Ada perangkat kerasnya (Chromebook), ada tempat penyimpanan datanya (Google Cloud), dan ada paket datanya (kuota internet). Iya, itu semua saling berkaitan,” kata Asep, Jumat (25/7/2025).
Dugaan korupsi ini mengaitkan tiga mata anggaran besar:
- Pengadaan Chromebook tahun 2019–2022
- Penggunaan layanan penyimpanan data Google Cloud
- Penyaluran kuota internet gratis ke peserta didik dan tenaga pendidik
Seluruhnya merupakan bagian dari Digitalisasi Pendidikan Nasional yang digagas untuk mengatasi hambatan pembelajaran daring selama pandemi.
Namun, proyek dengan niat baik ini kini berpotensi menjadi skandal nasional.
Program bantuan kuota internet dimulai sejak September 2020, dengan rincian per bulan sebagai berikut:
- PAUD: 20 GB (5 GB kuota umum, 15 GB kuota belajar)
- Siswa SD–SMA: 35 GB (5 GB umum, 30 GB belajar)
- Pendidik PAUD–SMA: 42 GB (5 GB umum, 37 GB belajar)
- Mahasiswa & Dosen: 50 GB (5 GB umum, 45 GB belajar)
Sumber pendanaan bersumber dari APBN melalui skema Bantuan Operasional dan Penugasan Khusus Kemdikbudristek yang saat itu dipimpin Nadiem Makarim.
Sementara itu, Kejaksaan Agung telah lebih dulu mengusut kasus pengadaan Chromebook senilai ratusan miliar rupiah. Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka:
- Jurist Tan (eks Stafsus Mendikbudristek)
- Ibrahim Arief (mantan konsultan teknologi)
- Sri Wahyuningsih (eks Direktur Sekolah Dasar)
- Mulyatsyah (eks Direktur Sekolah Menengah Pertama)
KPK kini menelusuri apakah ada aliran uang, mark-up, atau manipulasi dalam distribusi kuota internet yang dilakukan secara masif ke jutaan pelajar.
Meski masih tahap penyelidikan, KPK telah meminta data pembanding dari operator seluler, Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dan penyedia teknologi seperti Google.
“Kami fokus pada potensi kerugian negara dan aliran anggaran ke pihak ketiga yang tidak seharusnya,” ujar Asep.
Sumber internal menyebutkan, ada dugaan markup harga kuota serta ketidaktepatan sasaran penerima.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyebut kasus ini sebagai bentuk pengelolaan proyek pendidikan yang “minim akuntabilitas.”
“Digitalisasi pendidikan penting. Tapi sayangnya, banyak proyeknya terburu-buru, vendor ditunjuk tanpa lelang terbuka, bahkan pengawasan DPR nyaris tak terdengar. Kombinasi buruk antara teknologi, anggaran besar, dan minim transparansi adalah celah korupsi,” katanya.
Jika semua rangkaian digitalisasi pendidikan ini terbukti bermasalah, maka ini berpotensi menjadi skandal pasca-bansos Kemensos yang mengguncang masa pandemi.
Pasalnya, nilai proyek kuota internet, pengadaan Chromebook, dan kontrak penyimpanan digital bernilai triliunan rupiah, dengan jangkauan distribusi lebih dari 40 juta pelajar dan tenaga pendidik di seluruh Indonesia.(*)
Add new comment