BATANG HARI – Di tengah lebatnya hutan Dusun Bukit Paku, Desa Pelayangan, Kecamatan Muara Tembesi, jerat babi yang dipasang warga kembali menunjukkan sisi tragisnya: seekor beruang madu betina ditemukan dalam kondisi mengenaskan, kaki depannya nyaris putus, setelah dua hari terjerat perangkap.
Kabar ini menggetarkan publik pecinta satwa. Hanya dua pekan berselang dari insiden harimau Sumatera yang mengalami nasib serupa, kini giliran satwa dilindungi lainnya jadi korban kelalaian manusia.
“Kaki depan bagian kanan nyaris putus. Itu akibat jerat babi milik masyarakat,” ungkap Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Agung Nugroho, Jumat (6/6/2025).
Beruang madu yang terluka itu berjenis kelamin betina, berusia sekitar 7 tahun, dengan berat badan diperkirakan mencapai 60–70 kilogram. Evakuasi dilakukan cepat oleh tim lapangan BKSDA, didampingi dokter hewan, medis, aparat kepolisian, serta warga sekitar.
Kronologi kejadian dimulai Kamis (5/6), sekitar pukul 14.00 WIB. Laporan dari masyarakat diterima oleh pihak kepolisian, yang lalu meneruskannya kepada BKSDA. Hanya dalam hitungan jam, tim tanggap darurat turun ke lokasi membawa senapan bius, kandang angkut, dan peralatan medis.
“Evakuasi dilakukan sekitar pukul 15.00. Beruang masih agresif dan dalam kondisi panik,” jelas Agung. Dengan satu tembakan bius, hewan tersebut akhirnya dapat diamankan dan dibawa ke Tempat Penyelamatan Satwa (TPS) BKSDA Jambi.
Foto-foto internal yang diterima redaksi menunjukkan kondisi kaki depan kanan beruang benar-benar mengenaskan. Kulit dan otot terkelupas, pergelangan nyaris putus. Seutas kawat tajam masih tampak menancap saat pertama kali ditemukan.
Dokter hewan BKSDA kini tengah berjuang mencegah amputasi. Namun, tim medis belum dapat memastikan apakah luka itu bisa pulih total.
“Beruang ini korban, bukan hama. Kita harus berhenti menormalisasi jerat sebagai cara berburu,” kata seorang aktivis lingkungan yang ikut dalam proses evakuasi.
Kasus ini bukan yang pertama. Hanya dalam dua minggu terakhir, dua satwa dilindungi — seekor harimau jantan dan kini beruang madu betina — menjadi korban jerat babi. Harimau yang terjerat di Desa Suo-Suo, Tebo, pada 21 Mei lalu bahkan harus menghadapi amputasi setelah terperangkap selama 4 hari.
Jerat babi adalah fenomena lama yang terus dibiarkan. Dipasang untuk menangkap babi hutan yang kerap merusak ladang, perangkap ini tidak pandang bulu. Siapa saja yang melintasinya — termasuk harimau, beruang, bahkan anak gajah — bisa terjebak dan mati perlahan.
Ironisnya, pemasangan jerat kerap luput dari hukum. Meski UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dengan tegas melarang tindakan yang membahayakan satwa dilindungi, tidak banyak pelaku pemasang jerat yang diproses hukum.
“Kita butuh edukasi di tingkat tapak. Banyak masyarakat tidak tahu bahwa jerat bisa membunuh satwa yang justru dilindungi,” ujar Agung.
BKSDA Jambi mencatat bahwa wilayah Batang Hari, Tebo, dan Merangin adalah daerah dengan tingkat konflik satwa paling tinggi di Sumatera. Penyebabnya: perambahan hutan, pembukaan kebun skala besar, dan minimnya zona penyangga antara hutan dan permukiman.
Hilangnya habitat memaksa satwa liar turun ke ladang dan kebun warga. Di titik ini, konflik dimulai. Manusia merasa diganggu, satwa merasa terdesak. Jerat menjadi pelampiasan instan.
Beruang madu ini bukan sekadar korban jerat, tapi simbol dari konflik manusia dan alam yang belum selesai. Di balik luka menganga di kaki depannya, tersimpan pertanyaan besar: apakah pembangunan harus selalu dibayar dengan hilangnya nyawa makhluk lain?
Jika hari ini beruang, kemarin harimau, dan esok mungkin anak gajah — maka jerat yang melilit itu bukan hanya melukai mereka, tetapi juga nurani kita sebagai manusia.(*)
Add new comment