JAMBI – Tragedi kebakaran yang menimpa Nurbaiti (76), seorang lansia di Kelurahan Jelutung, Kota Jambi, Sabtu (31/5/2025), memunculkan polemik baru di balik asap dan puing rumahnya yang hangus: dugaan penolakan layanan medis oleh rumah sakit karena ia menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS)/BPJS Kesehatan.
Peristiwa ini langsung menuai sorotan publik. Sebab, di tengah luka bakar yang menggerogoti kulit dan usia renta yang tak bisa menunggu, harapan akan pelayanan kesehatan justru dibalas dengan penolakan. Lansia itu, menurut keterangan keluarga, ditolak saat hendak dirawat karena hanya membawa KIS dan tak mampu bayar mandiri.
"Kami bawa ke RS, tapi katanya kamar penuh dan tak bisa terima pasien KIS. Akhirnya kami bawa ke tempat lain," kata salah satu kerabat Nurbaiti.
Menyikapi hal ini, Kepala Bagian SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Jambi, Agusrianto, angkat bicara. Ia menyebut pihaknya akan memanggil dan meminta klarifikasi langsung dari RS yang bersangkutan.
"Kami akan menghubungi rumah sakit tersebut untuk meminta penjelasan terkait kasus ini. Tidak boleh ada diskriminasi layanan," tegas Agusrianto, Senin (2/6/2025).
Ia menegaskan, tidak ada perbedaan hak antara pasien umum dan peserta BPJS Kesehatan. Dalam kontrak kerja sama antara BPJS dan RS, telah ditegaskan bahwa setiap pasien berhak atas pelayanan medis yang adil dan setara.
Jika terbukti melakukan pelanggaran, kata Agusrianto, BPJS Kesehatan tidak akan segan memberikan sanksi. Mulai dari teguran administratif, evaluasi ulang kerja sama, bahkan hingga pemutusan kontrak mitra layanan.
"Kami punya opsi tegas. Jika prinsip pelayanan dilanggar, maka rumah sakit bisa saja tidak lagi kami percaya sebagai mitra," tambahnya.
Agusrianto juga mengingatkan bahwa peserta BPJS yang mengalami masalah layanan bisa langsung menghubungi Petugas BPJS 1 yang tersedia di setiap rumah sakit mitra. Petugas ini disiapkan khusus untuk menangani keluhan, kendala administrasi, hingga advokasi peserta.
"Kami akan pastikan bahwa setiap peserta mendapatkan hak pelayanannya dengan layak. Tidak boleh lagi ada cerita ditolak hanya karena bawa BPJS atau KIS," ujarnya.
Peristiwa ini bukan sekadar insiden medis, tetapi cerminan ketimpangan layanan kesehatan yang masih membayangi banyak warga kecil. Program BPJS yang seharusnya menjadi penyelamat rakyat kecil, seringkali terbentur praktek diskriminatif dan kalkulasi untung-rugi di meja pelayanan rumah sakit.
Kisah Nurbaiti seharusnya menjadi alarm keras: bahwa pelayanan kesehatan yang adil bukan sekadar jargon, tapi kewajiban moral dan konstitusional.(*)
Add new comment