Pagi itu, langit di Kecamatan Pemayung kembali digelayuti mendung yang pekat. Kabut tipis mengambang di atas Jalan Simpang Jembatan Emas, menyelimuti lubang-lubang yang menganga seperti jebakan bagi pengendara. Sudah hampir sebulan kondisi jalan ini tak kunjung membaik; hujan yang datang setiap sore membuat permukaan jalan menjadi seperti kubangan. Warga desa sudah kehilangan harapan. Mereka tak lagi punya pilihan selain berjuang di atas jalan yang memaksa mereka melambat, mengais-ngais kekuatan untuk tetap bergerak maju.
Di sisi jalan, Ajrisa Windra, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kabupaten Batanghari, berdiri dengan tatapan tajam ke arah jalan rusak yang kini terkenal di seluruh pelosok Batanghari. Video yang memperlihatkan kondisi jalan ini telah viral, membakar hati warga setempat yang akhirnya berani bersuara. Mereka merasa diabaikan, direndahkan, seperti orang yang terpinggirkan di tanah kelahirannya sendiri.
“Itu Jalan Simpang Jembatan Emas,” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Jalan sepanjang 11,2 kilometer ini sebenarnya adalah jalur kehidupan bagi para petani dan pedagang di Pemayung, sebuah jalan yang menghubungkan mereka ke pasar-pasar di kota. Namun kini, jalan itu malah menjadi penghalang.
Ajrisa ingat bagaimana dulu, jalan ini mulus, melambangkan harapan baru bagi daerah yang sedang berkembang. Namun anggaran terbatas membuat pemeliharaan jalan menjadi beban yang tak mudah. Sekali waktu, ia telah mengajukan permohonan ke Kementerian PUPR, berharap ada kucuran Dana Alokasi Khusus (DAK). Tapi sayang, hanya Rp18 miliar yang disetujui, terlalu sedikit untuk mengatasi kerusakan sepanjang itu.
“Sudah saatnya kita ajukan lagi, untuk 2026,” tekadnya dalam hati. Ia tahu tak mudah memperjuangkan ini di hadapan para birokrat di ibukota. Banyak kebutuhan lain yang dianggap lebih mendesak. Tapi Ajrisa tak ingin menyerah begitu saja.
Sementara itu, di sisi lain jalan, seorang ibu berdiri, wajahnya memancarkan keletihan. Ia bernama Lastri, ibu dua anak yang setiap pagi harus berjibaku dengan lumpur untuk mengantar anak-anaknya ke sekolah. Setiap kali hujan datang, ia tahu jalan ini akan kembali becek, penuh genangan. Berkali-kali ia hampir terpeleset, menahan tubuhnya agar tetap seimbang sambil mendampingi kedua anaknya yang masih kecil.
“Bu, kita bakal sampai sekolah nggak hari ini?” tanya si bungsu dengan suara lirih.
Lastri tersenyum tipis, menyembunyikan perasaan takutnya. “Sampai, Nak. Kita pasti sampai.”
Namun, jauh di dalam hatinya, Lastri merasa tak ada jaminan apa pun. Ia tahu bahwa jalan ini bisa saja menelan siapa pun yang mencoba melintasinya. Bukan hanya kendaraan, tapi juga harapan.
Berulang kali warga melaporkan kondisi jalan ke pemerintah daerah, berulang kali pula janji-janji disampaikan. Namun janji-janji itu terhenti di tengah jalan, tenggelam dalam lumpur seperti kendaraan yang tersangkut di jalan rusak ini. Ajrisa pun, meski tak jarang dipandang sinis oleh masyarakat, berusaha keras memberikan solusi. Ketika ia akhirnya menurunkan tim untuk memperbaiki dengan metode scrap, ia berharap kondisi jalan setidaknya akan membaik sementara. Namun alam berkata lain. Hujan deras menghapus semua usahanya, meninggalkan jalan yang semakin licin, semakin sulit dilalui.
Dalam unggahan akun media sosial @infobatanghari, berbagai komentar warga mengalir. Ada yang marah, ada yang menyerah. “Jalan Rasau semakin parah, kayak jalan kebun,” tulis salah satu pengguna. Komentar-komentar itu, meski pedas, adalah cerminan dari ketidakberdayaan mereka.
Ajrisa duduk di kantornya, memutar otak. Ia memandang peta Kabupaten Batanghari yang terbentang di meja, mata tertuju pada titik kecil yang menandai lokasi Jalan Simpang Jembatan Emas. “Ini bukan sekadar jalan,” bisiknya pelan. Jalan ini adalah simbol perjuangan. Jika ia bisa menyelesaikan perbaikan jalan ini, itu berarti pemerintah hadir bagi masyarakat yang paling membutuhkan.
Malam itu, dengan tekad yang baru, Ajrisa memutuskan akan membawa usulan perbaikan jalan ini ke dalam rapat besar di kabupaten. Ia akan menekankan pentingnya jalan ini bagi ekonomi lokal, terutama bagi swasembada pangan yang menjadi andalan Pemayung. Jalan ini bukan lagi sekadar jalan tanah berdebu, tapi adalah jantung kehidupan. Dan untuk itu, ia bertekad untuk mengusulkan perbaikan menggunakan dana DAK pada 2026. Kali ini, ia akan berjuang sekuat tenaga agar usulan itu tak lagi menjadi prioritas kedua.
Di bawah langit kelabu, Ajrisa melihat lagi jalan yang membentang panjang dan penuh rintangan di hadapannya. Ia tahu, perjalanan untuk memperbaiki jalan ini akan panjang, penuh tantangan. Tapi seperti halnya Lastri yang tak pernah menyerah mengantar anak-anaknya ke sekolah, Ajrisa juga takkan berhenti sampai jalan ini kembali pulih.
"Untuk kita semua," bisik Ajrisa, seolah menyapa setiap warga yang menggantungkan hidupnya pada jalan yang membentang di bawah langit kelabu.(*)
Add new comment