Kesetaraan gender kini tak lagi dipandang isu sekunder. Bagi Provinsi Jambi, ia sudah masuk dalam indikator kinerja utama gubernur. Bahkan, pemerintah provinsi sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengarusutamaan Gender (PUG).
Langkah ini dianggap penting, sebab data menunjukkan problematika gender di Jambi masih nyata. Angka Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada 2024 baru mencapai 51%, jauh di bawah laki-laki 86%. Angka perkawinan anak masih 8,56%. Tiga dari sepuluh perempuan melahirkan anak pertama sebelum usia 20 tahun.
Selain itu, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Jambi stagnan di level 0,528. Angka itu mencerminkan masih adanya kesenjangan dalam pendidikan, kesehatan, dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan.
Acara yang berlangsung di Aula Bappeda Provinsi Jambi ini dibuka langsung oleh Kabid PPM Bappeda Jambi, Nico. Ia menegaskan bahwa isu gender kini menjadi perhatian serius pemerintah daerah.
“Kesetaraan gender bukan lagi wacana, tapi bagian dari strategi pembangunan Jambi. Bappeda mendorong agar perspektif gender masuk ke semua program. Karena pembangunan yang menutup mata pada kebutuhan perempuan dan laki-laki secara adil, pasti timpang hasilnya,” ujar Nico dalam sambutannya.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi lintas OPD dan kabupaten/kota.
“Pokja PUG adalah garda depan. Bukan hanya tugas Dinas PPA atau Bappeda, tapi seluruh OPD harus ikut arus utama ini,” katanya.
Meski ada capaian, masalah masih besar. Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Data Dinas PPA mencatat ratusan kasus tiap tahun, namun hanya ada satu psikolog yang menangani.
Tenaga Ahli Gubernur Jambi, Muawwin MM, menjelaskan persoalan gender sesungguhnya berakar dari sejarah panjang patriarki.
“Sejak revolusi agraris, peran perempuan semakin terpinggirkan. Itu bukan kodrat, tapi konstruksi sosial yang diwariskan berabad-abad. Kalau ini konstruksi, artinya bisa kita ubah,” ujar Muawwin dalam acara Penguatan Kapasitas Pokja PUG Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi di Aula Bappeda Provinsi Jambi, Rabu (17/9/2025).
Muawwin menekankan, negara berkepentingan serius mengurusi persoalan gender.
“Tanpa kesetaraan, setengah potensi bangsa lumpuh. Ini soal ekonomi, demokrasi, dan hak asasi manusia. Gender bukan isu perempuan semata, melainkan isu kemanusiaan,” katanya.
Selain itu, representasi politik perempuan di Jambi masih jauh dari ideal. Hanya sekitar 12,7% kursi DPRD Provinsi Jambi diisi perempuan, di bawah target 30% yang ditetapkan undang-undang.
“Kalau kita ingin demokrasi sehat, keterwakilan perempuan harus diperkuat. Isu kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan anak lebih sering muncul kalau ada perempuan di ruang pengambilan keputusan,” jelas Muawwin, yang akrab disapa Awin Sutan Mudo.
Awin menambahkan, kesetaraan gender bukan tujuan akhir, tapi jalan menuju pembangunan yang adil.
“Kalau anak perempuan dan laki-laki lahir dengan kesempatan yang sungguh sama, baru kita bisa bilang pembangunan Jambi berhasil,” pungkasnya.
Komitmen Pemerintah Provinsi Jambi terlihat dari sejumlah langkah. Selain menyiapkan Ranperda PUG, Pemprov juga sudah membentuk UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di hampir semua kabupaten/kota. Anggaran responsif gender mulai diintegrasikan dalam perencanaan OPD.
“Pemerintah Provinsi Jambi tidak berhenti pada retorika. Kesetaraan gender sudah kita dorong jadi arus utama pembangunan. Ada indikator jelas dalam RPJMD, ada penguatan kelembagaan melalui Pokja PUG, dan ada inovasi di kabupaten/kota, seperti penguatan layanan korban kekerasan hingga pemberdayaan UMKM perempuan,” jelas Yulfi Alfikir, Tenaga Ahli Gubernur Jambi.
Menurut Yulfi, kunci keberhasilan ada pada konsistensi.
“Jambi sudah masuk 10 besar nasional dalam Indeks Pembangunan Gender. Itu capaian. Tapi tantangannya adalah bagaimana capaian itu bertransformasi jadi realitas di desa-desa, di sekolah, di dunia kerja. Jadi bukan angka semata,” tambahnya.
Forum Pokja PUG se-Jambi merekomendasikan beberapa langkah, mulai dari memperkuat data terpilah gender, memperluas program pemberdayaan ekonomi perempuan, meningkatkan layanan korban kekerasan, dan mempercepat lahirnya Perda PUG.
“Yang paling penting, mindset birokrasi harus berubah. Setiap kebijakan, sekecil apapun, wajib menimbang dampak pada laki-laki dan perempuan. Itulah makna gender mainstreaming,” tegas Yulfi Alfikir.(*)
Add new comment