Bobto bukan ASN, bukan pengacara, bukan juga anggota partai. Tapi pada Rabu pagi tadi, 21 Mei 2025, ia berdiri tegak di halaman Kejaksaan Tinggi Jambi. Di tangannya, sebuah map berisi dokumen penting seleksi PPPK. Isinya, jika terbukti, bisa menjadi salah satu skandal administratif paling memalukan tahun ini.
“Orang yang tak masuk daftar resmi, bisa ikut ujian. Yang sudah sesuai, justru digugurkan. Di mana logikanya?” tegas Bobto, aktivis Masyarakat Peduli Rakyat Jambi (MPRJ).
Adalah seleksi PPPK Muaro Jambi yang disorot MPRJ. Bobto menegaskan ada banyak maladministrasi dalam seleksi PPPK itu.
"Tapi istilah itu terlalu halus untuk sebuah permufakatan jahat yang dirancang rapih," kata Bobto.
Yang terjadi di Muaro Jambi, jika benar, adalah sistem yang tidak lagi rusak — tapi disengaja untuk dirusak.
Di dunia birokrasi, dokumen adalah kitab suci. Tapi dua surat resmi Pemkab Muaro Jambi, yang ada digenggaman Bobto, justru menunjukkan inkonsistensi yang mencolok. Bobto membeberkan dokumennya. Lembar pertama adalah dukumen surat No. 800/161/BKD/2025, tertanggal 19 Februari 2025. Dokumen itu memuat nama-nama peserta yang lulus seleksi administrasi PPPK.
Dokumen kedua berisi surat No. 800/49/BKD/2025, tertanggal 13 Januari 2025. Dokumen ini berisi daftar peserta yang resmi terdaftar dalam SPTJM Kepala OPD.
“Kami mencocokkan. Hasilnya, sejumlah nama yang tidak ada dalam SPTJM justru lulus dan ikut CAT,” ungkap Bobto.
“Artinya, ada intervensi. Bukan kesalahan. Ini skema,” imbuhnya.
Skema itu, menurut Bobto, bukan hanya administratif. Tapi juga transaksional. Ia lantas menunjuk seorang oknum berinisial R, bagian dari panitia PPPK. Dalam orasi dan laporannya ke Kejati, R disebut Bobto telah menjual solusi kepada pelamar yang gagal unggah dokumen dengan benar.
Harganya?
Rp 10 juta.
“Katanya, uang itu untuk ‘memperbaiki’ dokumen ke Jakarta. Tapi Jakarta yang mana? Lewat siapa? Tak pernah jelas,” terang Bobto.
Di sinilah peran emosi publik mulai terpicu. Karena yang diperdagangkan bukan barang mewah, melainkan hak dasar warga negara untuk diperlakukan adil.
Dalam sistem demokrasi yang ideal, ASN dipilih berdasarkan kompetensi. Tapi jika benar ada yang lulus hanya karena menyetor uang, maka negara telah menjual surga stabilitas kepada mereka yang mampu membayar tiketnya.
Inilah yang oleh psikologi sosial disebut sebagai kognitif disonansi massal. Otak kita tahu bahwa “itu salah”, tapi karena semua orang diam, kita menganggapnya wajar.
Laporan MPRJ akhirnya diterima Kejati Jambi melalui loket PTSP. Respons mereka diplomatis.
“Akan kami teruskan ke pimpinan,"(*)
Add new comment