Di tengah rimbun hutan Tebo yang sunyi, tempat sinyal telepon adalah barang mewah dan listrik seperti tamu yang enggan menetap lama, Muhammad Iqbal, S.Ag. melangkah mantap. Ia bukan petualang biasa. Ia adalah duta dakwah, alumni Pondok Hajjah Nuriyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), yang mengemban amanah dari Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk hadir dan mengabdi di tengah komunitas Suku Anak Dalam, masyarakat asli pedalaman Jambi.
Sudah lebih dari sebulan ia tinggal di tanah yang jauh dari riuh kota. Meski harus hidup dalam segala keterbatasan, semangat Iqbal tak pernah surut. "Kalau nggak betah ya dibikin betah, kalau nggak kuat ya harus kuat," ujarnya ringan, seolah kesulitan hanya permainan kecil yang harus dinikmati.
Tak sendiri, Iqbal bertugas bersama Ustaz Zein, seorang dai senior yang telah lama berdakwah di kawasan tersebut. Berkat kolaborasi dan dukungan dari LDK Pusat, sebuah rumah sederhana kini menjadi tempat tinggal mereka. Meski sempat disebut mirip kandang kambing oleh teman-temannya, bagi Iqbal, rumah itu cukup. Di sanalah ia berlindung, beristirahat, dan menyusun strategi dakwahnya.
Namun, medan tak pernah bersahabat. Saat hujan turun, jalanan berubah menjadi lautan lumpur. Motor lebih sering tergelincir ketimbang melaju. Listrik kerap padam hingga dua hari berturut-turut. Di malam-malam gelap itu, Iqbal merenung dalam sunyi. Bukan soal keputusasaan, tapi tentang makna hadir, tentang arti menjadi pelita di tengah pekat.
“Dakwah bukan hanya ceramah di mimbar. Dakwah itu hadir, hidup bersama, merasakan, dan menjadi bagian dari umat. Itulah Muhammadiyah yang saya pahami,” ungkap Iqbal penuh keyakinan.
Apa yang dilakukan Iqbal adalah wujud nyata dakwah yang membumi. Ia tidak hanya mengajarkan huruf hijaiyah, tapi juga membasuh luka sosial yang terabaikan. Di tengah keterpencilan dan minimnya fasilitas, ia menjadi penghubung harapan. Di sanalah ia membangun pondasi peradaban, satu persaudaraan demi satu silaturahmi.
Perjalanan Iqbal adalah cermin wajah Muhammadiyah hari ini—bergerak ke akar rumput, menyapa yang tertinggal, menghidupkan api perjuangan lewat tangan-tangan sunyi. Ia membawa Islam bukan sebagai slogan, tapi sebagai jawaban.
Di pelosok Tebo, Iqbal berdiri. Muda, bersahaja, namun penuh nyala. Ia mungkin tak dikenal banyak orang, tapi di mata mereka yang disentuh dakwahnya, ia adalah cahaya yang menuntun arah.(*)
Sumber : https://news.ums.ac.id/id/04/2025/menembus-sunyi-di-pelosok-jambi-kisah-perjuangan-mahasantri-pengabdian-shabran-ums/
Add new comment