Kerinci – Pembangunan RS Pratama Kerinci terus menuai sorotan tajam. Proyek senilai Rp 42 miliar yang dikerjakan PT Bumi Delta Hatten, kontraktor dengan rekam jejak bermasalah seperti proyek RTH Rp 35 miliar di Kota Jambi, kini kembali diwarnai polemik. Dari tender proyek hingga operasional yang tak sesuai spesifikasi, berbagai masalah mengemuka, menambah panjang daftar dugaan kejanggalan dalam proyek ini.
Proyek ini sudah bermasalah sejak awal. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tiba-tiba mengundurkan diri pada tahap awal pencairan termin pertama. Situasi itu meninggalkan pertanyaan besar soal transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan proyek.
PT Bumi Delta Hatten sebagai kontraktor utama proyek ini bukanlah nama baru dalam kontroversi proyek besar. Sebelumnya, perusahaan ini juga terlibat dalam pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) senilai Rp 35 miliar di Kota Jambi, yang hingga kini masih menuai kritik terkait kualitas pengerjaan.
“Kontraktor seperti ini mestinya dievaluasi ketat. Bagaimana mungkin proyek dengan dana besar terus dipercayakan kepada perusahaan dengan rekam jejak buruk?” ungkap Iqbal, warga Bukit Kerman, Kerinci.
Seorang sumber dari Dinas Kesehatan mengungkapkan, proyek ini awalnya dirancang sebagai RS Tipe D Pratama, tipe rumah sakit dengan standar pelayanan terbatas yang mirip puskesmas namun mampu menerima perawatan pasien. Namun, RS Pratama Kerinci tiba-tiba "naik kelas" menjadi RS Tipe D, yang memiliki standar lebih tinggi.
Peningkatan tipe ini menimbulkan pertanyaan serius. Untuk RS Tipe D, syaratnya mencakup 50 tempat tidur dan keberadaan empat dokter spesialis utama (bedah, kandungan, anak, dan penyakit dalam). Sedangkan RS Tipe D Pratama hanya membutuhkan dokter umum.
“Padahal, Kemenkes menganggarkan dana untuk membangun RS Tipe D Pratama. Kok tiba-tiba langsung naik jadi Tipe D? Ini melanggar standar spesifikasi dan pasti jadi masalah hukum nantinya,” kata sumber tersebut.
Ia menilai bahwa langkah ini sekadar upaya menarik dana pusat, tanpa mematuhi aturan standar Kemenkes.
“Kalau tidak sesuai tipe awal, alat kesehatan (alkes) senilai miliaran rupiah yang dibeli juga tidak akan cocok untuk tipe RS tersebut. Ini bisa jadi bom waktu,” tambahnya.
Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Provinsi Jambi, yang baru saja dibentuk Gubernur Jambi, angkat bicara terkait masalah ini. Anggota BPRS, Halid, menegaskan bahwa RS Pratama Kerinci harus beroperasi sesuai dengan izin awal yang diberikan.
“Kalau dipaksakan langsung ke Tipe D tanpa memenuhi standar, ini akan memicu masalah hukum. Tidak ada jalan pintas untuk naik kelas RS, semuanya harus sesuai prosedur, termasuk uji fungsi alat dan kalibrasi,” tegas Halid.
Ia juga mengingatkan bahwa izin operasional yang melompat tanpa proses bertahap dapat berdampak fatal bagi pelayanan dan hukum di masa depan.
Masalah lonjakan tipe RS ini berpotensi menyeret berbagai pihak ke ranah hukum. Jika benar ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek, maka sanksi pidana dan perdata siap menunggu pihak terkait.
Publik menuntut pemerintah segera bertindak tegas untuk memastikan semua proyek infrastruktur, termasuk RS Pratama Kerinci, berjalan sesuai aturan dan spesifikasi yang ditetapkan.
“Jangan sampai uang rakyat terbuang sia-sia hanya karena proyek dilakukan asal-asalan. Jika terbukti ada penyimpangan, semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab secara hukum,” desak seorang warga Kerinci.(*)
Analisis Hukum dan Tindakan Terkait Kasus RS Pratama Kerinci
1. Dugaan Pelanggaran Proses Tender
Masalah:
Proses tender proyek diduga tidak transparan, dengan pemenang tender, PT Bumi Delta Hatten, memiliki rekam jejak buruk dalam proyek sebelumnya, seperti RTH senilai Rp 35 miliar di Kota Jambi. Ketidaksesuaian ini melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
- Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Konsekuensi Hukum:
- Pembatalan tender: Jika ditemukan pelanggaran, proses tender dapat dibatalkan dan diulang.
- Sanksi administratif atau pidana: Panitia tender atau pejabat pengadaan dapat dikenai sanksi sesuai UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika terbukti terjadi pengaturan tender atau penggelembungan anggaran.
2. Ketidaksesuaian Spesifikasi RS dengan Standar Kemenkes
Masalah:
RS Pratama Kerinci dirancang untuk tipe D Pratama, namun saat operasional langsung ditingkatkan ke tipe D tanpa memenuhi syarat, melanggar:
- Permenkes No. 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
- Protokol pengadaan alat kesehatan (alkes) yang tidak sesuai spesifikasi.
Konsekuensi Hukum:
- Pencabutan izin operasional: Jika ditemukan manipulasi izin, RS dapat ditutup hingga memenuhi standar.
- Tindak pidana: Jika ada manipulasi dokumen atau laporan, dapat dikenakan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
- Tindak pidana korupsi: Pemborosan anggaran pada alkes yang tidak sesuai spesifikasi dapat dianggap sebagai kerugian negara.
3. Pengunduran Diri PPK di Awal Proyek
Masalah:
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mundur pada awal pencairan termin pertama, menimbulkan kecurigaan adanya tekanan atau ketidakpatuhan dalam pelaksanaan proyek. Hal ini melanggar kewajiban PPK sebagaimana diatur dalam:
- Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang tanggung jawab PPK dalam pengadaan barang/jasa.
Konsekuensi Hukum:
- Pemeriksaan hukum: PPK yang mundur harus diperiksa untuk mengungkap apakah ada tekanan atau dugaan penyimpangan.
- Sanksi administratif: PPK yang lalai dapat diberhentikan atau dikenai sanksi sesuai UU ASN.
- Potensi pidana: Jika ditemukan indikasi pembiaran atau keterlibatan dalam penyimpangan anggaran, PPK dapat dikenai hukuman pidana.
4. Pengoperasian RS Tanpa Kepatuhan Regulasi
Masalah:
RS Pratama Kerinci beroperasi tanpa memenuhi izin tipe D sesuai standar Kemenkes. Hal ini melanggar:
- UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang mensyaratkan evaluasi bertahap untuk peningkatan tipe RS.
Konsekuensi Hukum:
- Penutupan operasional: RS dapat ditutup hingga memenuhi standar.
- Malpraktik: Jika terjadi kegagalan pelayanan akibat pelanggaran standar, pengelola RS dapat digugat secara perdata atau pidana.
5. Potensi Tindak Pidana Korupsi
Masalah:
Indikasi penyimpangan anggaran, penggelembungan biaya, dan penggunaan dana yang tidak sesuai spesifikasi. Hal ini melanggar:
- UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Konsekuensi Hukum:
- Pemeriksaan pidana: Aparat penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan dapat mengusut dugaan korupsi.
- Sanksi berat: Jika terbukti, pelaku dapat dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Rekomendasi Tindakan Hukum
- Audit dan Investigasi:
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Inspektorat Kemenkes harus segera melakukan audit menyeluruh atas penggunaan dana proyek.
- KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan diminta untuk mengusut tuntas dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
- Evaluasi Perizinan:
- Segera lakukan penyesuaian izin operasional RS sesuai tipe D Pratama, termasuk kalibrasi alat kesehatan.
- Sanksi kepada Kontraktor:
- PT Bumi Delta Hatten harus diberikan sanksi tegas jika terbukti melakukan pelanggaran, termasuk blacklist dari proyek pemerintah.
- Transparansi Publik:
- Pemerintah daerah harus membuka hasil audit dan investigasi kepada masyarakat untuk menjaga kepercayaan publik.
Add new comment