Di balik kerimbunan hutan dan derasnya aliran Sungai Rotan, sebuah tragedi lingkungan mengintai. Empat orang yang tergiur oleh kilauan emas telah merusak ekosistem setempat dengan cara yang tak terpuji. Khosim, Ardianto, Sarjono, dan Pujo Witomo kini harus menghadapi tuntutan hukum akibat kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) yang mereka lakukan di Blok E Desa Sumber Agung, Kecamatan Rimbo Ilir, Kabupaten Tebo.
Pagi itu, 31 Maret, adalah hari yang naas bagi keempat pelaku. Mereka sedang sibuk dengan alat-alat penambangan, berharap mendapatkan butiran emas yang berharga. Namun, suara deru mesin diesel dan aktivitas mencurigakan mereka telah menarik perhatian aparat penegak hukum. Dengan cepat, tim dari Kejaksaan Negeri Tebo yang dipimpin oleh Kasi Pidum, Sefri Hendra, bergerak ke lokasi dan menangkap mereka.
Barang bukti yang ditemukan di lokasi penangkapan cukup mengejutkan. Ada sebuah engkol mesin, satu unit mesin diesel merek Tianli, beberapa potongan pipa dan selang spiral, empat buah karpet, satu gulung gabang, satu buah dulang, satu jerigen bekas tempat BBM Solar, satu bungkus sabun deterjen merek Boom, satu ember, dan satu botol berisikan air raksa. Semua barang ini menunjukkan betapa terorganisirnya kegiatan ilegal mereka.
Pada Rabu lalu, di tengah suasana tegang ruang sidang, keempat terdakwa menjalani proses penuntutan. Sefri Hendra, dengan tegas menyampaikan dakwaan terhadap mereka. "Keempat pelaku PETI ini didakwa dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Masing-masing dituntut 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp5 juta," kata Sefri.
Di balik angka-angka tuntutan itu, ada cerita yang lebih besar dan lebih suram. Aktivitas PETI tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa dampak lingkungan yang sangat merusak. Sungai Rotan, yang dulunya jernih, kini tercemar oleh merkuri dan bahan kimia berbahaya lainnya. Ekosistem air terancam, ikan-ikan mati, dan masyarakat sekitar kehilangan sumber air bersih. Kerusakan yang ditimbulkan tidak bisa dihapus hanya dengan hukuman penjara dan denda.
Kegiatan penambangan ilegal ini juga mencerminkan masalah sosial-ekonomi yang lebih dalam. Banyak dari pelaku PETI berasal dari latar belakang ekonomi yang sulit. Ketiadaan pekerjaan yang layak dan kebutuhan mendesak sering kali mendorong mereka ke jalan pintas yang melanggar hukum. Ini adalah realitas pahit yang perlu ditangani dengan pendekatan yang lebih holistik, termasuk pemberdayaan ekonomi dan pendidikan.
Kasi Pidum, Sefri Hendra, dalam pidatonya juga menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas dan konsisten untuk menekan aktivitas PETI. "Kita harus memberi contoh bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Penambangan ilegal merusak alam dan mengancam masa depan kita semua. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dijalankan dengan tegas," ujarnya.
Namun, upaya ini bukanlah tanggung jawab penegak hukum semata. Semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, lembaga non-pemerintah, hingga masyarakat, perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah PETI. Sosialisasi tentang dampak buruk penambangan ilegal dan peningkatan kesadaran lingkungan adalah langkah awal yang penting.
Di luar gedung pengadilan, keempat terdakwa mungkin merenungkan nasib mereka. Di dalam sel yang dingin, mereka mungkin menyadari bahwa kilauan emas tidak sebanding dengan kebebasan dan kelestarian alam. Kisah mereka adalah peringatan bagi banyak orang tentang bahaya dan konsekuensi dari mengejar keuntungan sesaat dengan cara yang melanggar hukum.
Melalui penegakan hukum yang tegas dan upaya kolaboratif untuk memberdayakan masyarakat, kita bisa berharap bahwa kejadian seperti ini tidak akan terulang. Alam yang lestari adalah warisan berharga yang harus kita jaga, bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Karena sesungguhnya, nilai emas yang sejati ada pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.(*)
Add new comment