JAMBI – Pagi itu, ruang sidang Pengadilan Tipikor Jambi dipenuhi ketegangan. Tiga terdakwa korupsi proyek pembangunan Stadion Mini di Kota Sungai Penuh, Adiarta, Yusrizal, dan Welly Andres, duduk di kursi pesakitan. Di hadapan mereka, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Sungai Penuh membacakan tuntutan yang memukul telak: enam tahun penjara.
Ketiganya dituduh melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Tidak hanya hukuman penjara, mereka juga diwajibkan membayar denda masing-masing Rp 200 juta, subsidiair tiga bulan kurungan. Namun, di antara mereka, Yusrizal menghadapi tuntutan tambahan yang lebih berat. JPU menuntut Yusrizal untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 747.830.676.
Waktu satu bulan diberikan kepada Yusrizal untuk melunasi uang pengganti tersebut. Jika gagal, harta bendanya akan disita dan dilelang. Bila harta benda Yusrizal tidak mencukupi, hukuman penjara selama tiga tahun siap menantinya. “Perbuatan ketiga terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama,” ujar JPU dalam dakwaan primair, mengacu pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembangunan Stadion Mini sepak bola di Desa Sungai Akar, sebuah proyek yang dianggarkan pada tahun 2022 oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Sungai Penuh, kini menjadi simbol kemelut korupsi. Adiarta, seorang konsultan pengawas, bersama Welly Andres, ASN pada Dinas Perkim Sungai Penuh, dan Yusrizal, pelaksana kegiatan, didakwa melakukan penyimpangan dana yang seharusnya digunakan untuk proyek tersebut.
Sidang hari itu membuka tabir kejahatan yang menyelimuti proyek pembangunan yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat Kota Sungai Penuh. Alih-alih menyediakan fasilitas olahraga yang layak, proyek ini berubah menjadi ladang korupsi yang menguntungkan segelintir orang.
Dari ketiga terdakwa, Yusrizal menjadi sorotan utama. Tidak hanya karena perannya sebagai pelaksana kegiatan, tetapi juga karena tuntutan tambahan yang mengharuskannya membayar uang pengganti kerugian negara. Tuntutan ini menunjukkan betapa besar kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya. “Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang,” tegas JPU.
Ancaman tambahan tiga tahun penjara bagi Yusrizal jika harta bendanya tidak mencukupi untuk menutupi kerugian, menambah berat beban hukuman yang harus dihadapinya. Sementara itu, Adiarta dan Welly Andres, meskipun tidak menghadapi tuntutan pembayaran uang pengganti, tetap harus menjalani hukuman penjara dan membayar denda yang telah ditetapkan.
Kasus ini menjadi pembelajaran berharga bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Keterlibatan pegawai negeri dalam kasus korupsi seperti ini menunjukkan bahwa pengawasan dan transparansi dalam pelaksanaan proyek pemerintah sangat diperlukan. Proyek-proyek yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat, malah berubah menjadi ladang korupsi yang merugikan negara dan masyarakat itu sendiri.
Di luar gedung pengadilan, masyarakat Kota Sungai Penuh menanti keadilan. Mereka berharap, hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa bisa menjadi contoh dan peringatan bagi siapa saja yang berniat melakukan korupsi. Keputusan akhir dari pengadilan ini akan menjadi penentu, apakah keadilan dapat ditegakkan dan kerugian negara dapat dipulihkan.
Proyek pembangunan Stadion Mini yang seharusnya menjadi kebanggaan warga Sungai Penuh, kini menjadi kisah kelam akibat ulah segelintir orang yang memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan pribadi. Sidang ini tidak hanya menuntut keadilan bagi para terdakwa, tetapi juga mengingatkan pentingnya integritas dan transparansi dalam setiap pelaksanaan proyek pemerintah. Masyarakat berharap, dengan tegaknya hukum, praktik korupsi dapat diminimalisir dan pembangunan yang sejati untuk kesejahteraan rakyat dapat terwujud.(*)
Add new comment