Kasus dugaan rudapaksa yang menimpa seorang mahasiswi berinisial R (18) di Jambi pasca-kegiatan orientasi Mapala mencuatkan kembali tuntutan terhadap lingkungan kampus agar lebih siap mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) turun tangan, menyoroti pentingnya langkah konkret guna menghindari kejadian serupa.
“Kekerasan seksual, terutama di lingkungan kampus, tidak boleh lagi dianggap sepele,” tegas Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Selasa (29/10). Ia menegaskan, perlindungan korban harus selalu menjadi prioritas, terlebih ketika kekerasan berbasis gender kerap kali terselubung dan berulang. Kasus yang menimpa R, menurut Ratna, menjadi bukti nyata bahwa perguruan tinggi belum sepenuhnya siap melindungi mahasiswanya.
Ratna juga menyebut, kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi di perguruan tinggi dan justru menunjukkan kecenderungan pola kekerasan berbasis gender yang beragam. “Modus kasus kekerasan seksual di kampus seringkali berkembang, sementara pencegahan dan tanggung jawab kampus masih jauh dari memadai,” ungkapnya. Dalam konteks ini, keberadaan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di setiap kampus menjadi sangat krusial, namun masih diragukan efektivitasnya.
Pihak PPPA mendesak adanya pendekatan komprehensif di perguruan tinggi, tidak hanya berupa pembentukan Satgas PPKS, namun juga pelatihan dan diskusi yang intens terkait relasi kuasa dan kekerasan berbasis gender. Perguruan tinggi, lanjut Ratna, harus aktif menciptakan lingkungan aman dan protektif untuk para mahasiswanya.
Kasus ini kini ditangani oleh Polda Jambi dengan tersangka berinisial MR (19) yang telah diamankan. Namun, kasus R memunculkan harapan agar perlindungan di kampus bukan sekadar retorika, tapi diwujudkan dalam tindakan nyata demi keselamatan para mahasiswa yang seharusnya merasakan aman di lingkungan pendidikannya.(*)
Add new comment