Setelah perundungan brutal terhadap siswi SMP di Kota Jambi viral, DPMPPA Jambi turun tangan memberikan pendampingan psikologis. Apa langkah konkret yang diambil untuk mengatasi trauma korban dan meredakan kegelisahan masyarakat?
Kasus perundungan terhadap seorang siswi SMP di Kota Jambi kembali membuka luka lama tentang lemahnya perlindungan anak di dunia maya. Video yang memperlihatkan kekerasan tersebut cepat menyebar, mengguncang publik, dan memaksa berbagai pihak untuk bertindak. Namun, sorotan utama kini beralih pada bagaimana pemerintah daerah, khususnya Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Jambi, menangani trauma korban secara konkret.
Kepala DPMPPA Kota Jambi, Noverintiwi Dewanti, menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan langkah sigap untuk memberikan pendampingan psikologis kepada korban dan keluarganya. "Kami pastikan, korban akan didampingi psikologis sampai tuntas. Ini bukan hanya soal memberi rasa aman sementara, tetapi juga mencegah trauma berkepanjangan," tegas Noverintiwi, Sabtu (21/9/2024).
Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah: Seberapa efektif pendampingan ini? Masyarakat dan pemerhati anak menuntut kepastian bahwa penanganan tidak hanya berakhir di ruang konsultasi psikologis. Kasus ini bukan sekadar masalah individual, tetapi fenomena sosial yang melibatkan lingkungan sekolah, keluarga, dan bahkan sistem perlindungan yang kurang responsif terhadap kekerasan pada anak.
Pihak DPMPPA bergerak setelah menerima laporan pengaduan melalui layanan WhatsApp mengenai insiden ini. Namun, sebagian warga bertanya-tanya, mengapa penanganan tidak dilakukan lebih awal—sebelum perundungan yang dipicu perselisihan di media sosial ini membesar? “Kami sudah memantau sejak pengaduan masuk, dan kini kami terlibat dalam setiap tahapan, dari pendampingan psikologis hingga pemeriksaan di kepolisian,” tambah Noverintiwi.
Langkah selanjutnya yang dijanjikan DPMPPA adalah pemeriksaan psikologis yang dijadwalkan Senin (23/9/2024). "Kami akan melihat apakah korban mengalami trauma, dan jika iya, apa saja yang perlu dilakukan untuk membantu pemulihannya," katanya. Pemeriksaan ini akan menentukan langkah perawatan lebih lanjut, tetapi apakah satu sesi cukup untuk meringankan beban psikologis korban?
Di sisi lain, DPMPPA juga terlibat dalam proses hukum. Mereka telah mendampingi korban saat memberikan keterangan di Polresta Jambi dan berjanji akan terus mengawal kasus ini. “Mediator dan pengacara kami sudah mendampingi saat BAP di Polresta, dan kami akan terus bersama korban sampai kasus ini selesai,” imbuhnya.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa publik menuntut lebih dari sekadar pendampingan psikologis. Banyak yang berharap bahwa tindakan ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan terhadap anak, khususnya di era digital yang semakin berbahaya bagi generasi muda. Masyarakat menunggu, bukan hanya hasil dari proses pendampingan psikologis, tetapi juga langkah konkret dalam mencegah perundungan serupa terjadi lagi di masa mendatang.(*)
Add new comment